Senin, 29 Oktober 2012

TUGAS PASTURA


PENDAHULUAN
A. Latae Belakang
 Sulawesi Tenggara merupakan wilayah yang sangat potensial untuk pengembangan ternak terutama sapi, karena didukung oleh sumberdaya alamnya yang sangat potensial bagi penyediaan  hijauan pakan. Sapi Bali merupakan jenis ternak sapi yang sangat dominan di wilayah ini. Pada tahun 2007 (data tahun 2006) tercatat jumlah sapi di propinsi Su;awesi Tenggara mencapai 222.350 ekor.
Upaya peningkatan populasi ternak sapi terus diupayakan oleh pemerintah daerah setempat terutama oleh dinas yang terkait. Beberapa pakan unggul seperti Glyricidea (gamal), lamtoro, rumput gajah, setaria, brachiaria sudah ada di hampir seluruh wilayah Sulawesi Tenggara. Namun demikian, menurut petani pada saat-saat tertentu terutama di musim kemarau ketersediaan pakan bagi sapi terasa kurang sehingga perlu diupayakan kecukupan pakan selama periode tersebut.Berkaitan dengan hal tersebut, saat ini BPTP Sulawesi Tenggara sedang melakukan uji adaptasi enam spesies legume untuk pakan ternak, baik di lahan kering maupun di lahan sawah. Pengujian dilaksanakan di kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka. Keenam spesies tersebut adalah Dolichos lab-lab, Clitoria ternatea, Macroptilium purpureum, Centrosema pascourum, Stylo hamata dan Desmanthus vergatus. Kini pertanaman di lapangan memasuki fase generatif. Kegiatan ini merupakan kerjasama antara BPTP Sulawesi Tenggara dengan ACIAR (Australian Centre Institute for Agricultural Research).
 Menurut peneliti yang menangani kegiatan pengujian hijauan pakan ternak tersebut, Ir. Muh. Rusman, MP, daya adaptasi beberapa spesies legume yang diuji cukup baik. Untuk menentukan spesies mana yang paling adaptif (paling unggul) berdasarkan biomass yang dihasilkan, kini sedang dilakukan evaluasi di laboratorium BPTP Sultra. Kepala BPTP Sultra Dr. Didik Harnowo menjelaskan bahwa dengan adanya kegiatan uji adaptasi beberapa spesies legume ini diharapkan akan menambah variasi jenis pakan ternak bermutu yang ada di Sulawesi Tenggara. Apabila memungkinkan, Sulawesi Tenggara dapat dijadikan pusat penyediaan benih legume pakan ternak. Dijelaskan juga bahwa pakan untuk sapi tidak saja dapat dipenuhi dari hijauan, akan tetapi dapat juga dapat dipenuhi dari limbah pertanian, seperti  jerami padi, brangkasan tanaman kacang tanah maupun kedelai. Limbah tanaman kacang-kacangan merupakan pakan ternak potensial yang bermutu tinggi, terutama dari aspek kandungan proteinnya yang cukup tinggi. Di Jawa, jenis pakan ini telah banyak dimanfaatkan oleh para peternak. BPTP Sulawesi Tenggara dalam waktu dekat akan melakukan pengkajian dan pengembangan pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak, tandas Dr. Didik Harnomo. 
 Kaitannnya dengan potensi pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak, Kepala BPTP Sultra menjelaskan bahwa dengan luas lahan sawah sekitar 93 ribu hektar akan dihasilkan jerami yang cukup banyak sehingga cukup besar pula potensinya untuk digunakan sebagai pakan ternak bermutu (dengan proses fermentasi). Sayangnya, potensi tersebut belum dapat diperoleh secara optimal di Sulawesi Tenggara. Dalam rangka mendukung program pemerintah daerah dalam pengembangan ternak sapi khususnya dalam aspek penyediaan pakan ternak bermutu, BPTP Sulawesi Tenggara dalam waktu dekat akan melakukan gelar teknologi integrasi tanaman-ternak di beberapa kabupaten. Kepala BPTP Sultra Dr. Didik Harnowo mengharapkan agar kegiatan tersebut dapat menarik minat petani-peternak untuk menerapkannya. Dengan demikian diharapkan adanya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani peternak di wilayah ini. Peneliti dari Australia Dr. Simon Quigley saat mengunjungi pertanaman legumes di Ladongi Kabupaten Kolaka menyatakan bahwa legume hijauan pakan yang diuji adaptasi di Sulawesi Tenggara juga diuji adaptasi di NTB. Dijelaskan bahwa beberapa species legume tersebut menunjukkan pertumbuhan yang cukup cepat sehinng memiliki potensi menghasilkan biomas yang cukup tinggi.  Legume yang dinilai unggul (terpilih) selanjutnya dapat dikembangkan di lahan sawah bero setelah padi sehingga sangat bermanfaat untuk hijauan pakan ternak sapi pada musim kemarau
Peningkatan produksi ternak khususnya ternak ruminansia akan berhasil dengan baik jika ketersediaan pakan hijauan sebagai sumber pakan dapat dipenuhi secara kualitas dan kuantitas dan tersedia secara kontinyu. Hijauan makanan ternak bersumber dari padang rumput alam atau dengan melakukan penanaman hijauan makanan ternak. Jenis dan kualitas hijauan dipengaruhi oleh kondisi ekologi dan iklim di suatu wilayah. Ketersediaan hijauan pakan ternak di Indonesia tidak tersedia sepanjang tahun, dan hal ini merupakan suatu kendala yang perlu dipecahkan.Ternak ruminansia sebagai penghasil daging dan susu dengan pakan utamanya hijauan memiliki kendala dalam penyediaannya disebabkan oleh semakin berkurangnya lahan/padang penggembalaan dan ketersediaan pakan hijauan sangat dipengaruhi oleh musim.
Musim kemarau jumlahnya kurang dan sebaliknya pada musim hujan melimpah sehingga ketersediaan tidak kontinyu sepanjang tahun. Kecukupan pakan bagi ternak yang dipelihara merupakan tantangan yang cukup serius dalam pengembangan peternakan di Indonesia. Indikasi kekurangan pasokan pakan dan nutrisi ialah masih rendahnya tingkat produksi ternak yang dihasilkan.
Pengembangan peternakan sangat terkait dengan pengembangan suatu wilayah. Sulawesi Selatan sebagai salah satu propinsi di Indonesia memiliki potensi cukup besar dalam pengembangan peternakan. Sulawesi Selatan pernah dikenal sebagai lumbung ternak, dengan kemampuan memasok ternak ke daerah lain dalam rangka pengadaan ternak nasional. Sebagai illustrasi, pada tahun 1990 jumlah pengeluaran ternak sapi dan kerbau adalah 65 804 ekor dan 17 443 ekor (Katoe 1991) dan angka tersebut masih jauh lebih tinggi dibanding jumlah pengeluaraan ternak pada tahun 2003 yaitu sapi 6 449 ekor dan kerbau 143 ekor.
Saat ini permintaan ternak kurang mampu terpenuhi yang kemungkinan disebabkan oleh a). rendahnya kemampuan produksi ternak bibit, baik dari segi kualitas maupun kuantitas akibat terjadinya perkawinan kedalam yang berlangsung cukup lama, b). semakin menurunnya produktivitas ternak yang ditunjukkan dengan menurunnya berat karkas, dan c). terbatasnya kuantitas dan kualitas pakan (Ella 2002). Pakan untuk ternak ruminansia selama ini diperoleh dan bersumber dari padang penggembalaan. Padang penggembalaan menyediakan hijauan berupa rumput-rumputan dan leguminosa sebagai sumber pakan ternak ruminansia. Beberapa tahun terakhir terdapat kecenderungan menurunnya produktivitas padang penggembalaan sebagai penyedia pakan akibat terjadinya perubahan fungsi lahan. Lahan yang selama ini sebagai padang penggembalaan dikonversi menjadi lahan pertanian untuk persawahan, perkebunan dan pemukiman. Akibatnya padang penggembalaan sebagai basis ekologi untuk ternak khususnya ternak ruminansia semakin berkurang.                       .
POTENSI PRODUKSI HIJAUAN PADANG PENGGEMBALAAN 
              Berdasarkan data statistik dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (1996 2005) menunjukkan bahwa, di Sulawesi Selatan telah mengalami penurunan jumlah luas areal padang penggembalaan. Tahun 1996 luas areal padang penggembalaan di Sulawesi Selatan adalah 236.434 ha, dan pada tahun 2005 jumlah tersebut mengalami berkurang menjadi 192.008 ha atau menurun sebesar 23,13%. Dengan demikian potensi padang penggembalaan sebagai penyedia hijauan pakan juga mengalami penurunan.            
              Kondisi tersebut di atas dipengaruhi oleh menurunnya jumlah areal padang panggembalaan di masing-masing kabupaten di Sulawesi Selatan. Hal ini terjadi sebagai akibat terjadi perubahan fungsi lahan yang selama sebagai padang penggembalaan berubah menjadi lahan perkebunan, persawahan ataupun untuk pemukiman. Luas areal padang penggembalaan di Sulawesi Selatan sebesar 190,006 ha. Dari jumlah tersebut lebih dari 60% luas areal padang penggembalaan di Sulawesi Selatan berada di empat kabupaten yaitu Luwu, Luwu Utara, Wajo dan Tana Toraja atau masing-masing 13,85%, 17,59%, 14,39%, dan 15,08% dari total luas padang penggembalaan di Sulawesi Selatan. Dengan mengetahui luas areal padang penggembalaan masing-masing kabupaten di Sulawesi Selatan maka dilakukan perhitungan potensi produksi hijauan yang dihasilkan. Potensi produksi hijauan pakan di padang penggembalaan dihitung dengan berdasarkan asumsi dan pendekatan dari hasil studi dan penelitian yang telah dilakukan.
               Produksi hijauan yang bersumber dari padang penggembalaan dihitung berdasarkan luas areal padang penggembalaan masing-masing kabupaten di Sulawesi Selatan berdasarkan data statistik Tahun 2005. Estimasi produksi hijauan di padang penggembalaan dihitung berdasarkan asumsi bahwa satu hektar (1 ha) padang penggembalaan menghasilkan hijauan pakan sebesar 25.550 kg hijauan atau 25,55 ton hijauan per tahun (Ditjen Peternakan, 1985). Dengan demikian produksi hijauan dari padang penggembalaan dapat diestimasi dan dihitung. Berdasarkan hasil perhitungan maka potensi produksi hijuan dari padang penggembalaan di Sulawesi Selatan dalam kurun waktu 1996-2005, bahwa jumlah produksi hijauan padang penggembalaan di Sulawesi Selatan pada tahun 2005 sebesar 4.905.804 ton, dan lebih rendah jika dibandingkan jumlah produksi pada tahun 2000 yaitu 5.381.469 ton, dan tahun 1996 sebesar 6.040.889 ton. Dengan demikian jumlah produksi hijauan yang semakin menurun dari tahun ke tahun sehingga potensi padang penggembalaan sebagai penyedia hijauan mengalami penurunan dalam kemampuannya sebagai sumber pakan khususnya ternak ruminansia. Jumlah produksi hijuan padang penggembalaan di Sulawesi Selatan sebanyak 4,905,804 ton, dan beberapa kabupaten menunjukkan produksi yang tinggi disbanding kabupaten lainnya.                 
                Klasifikasi wilayah produksi hijauan dapat diketahui berdasarkan perhitungan indeks konsentrasi produksi pakan. Indeks konsentrasi produksi pakan memberikan gambaran tentang konsentrasi produksi masing-masing hijauan padang penggembalaan yang dihitung dengan cara produksi hijauan padang penggembalaan masing-masing kabupaten di bagi dengan rata-rata produksi hijauan padang penggembalaan propinsi. Wilayah kabupaten dengan IKPP ≥ 1.0 merupakan wilayah yang memiliki keunggulan produksi dengan kategori produksi tinggi hijauan padang penggembalaan dibanding wilayah/kabupaten lainnya. Berdasarkan hasil perhitungan indeks konsentrasi pakan, maka beberapa wilayah kabupaten dalam kategori produksi tinggi untuk produksi hijauan padang penggembalaan yaitu Sidrap (356,652 ton), Selayar (313,345 ton), Enrekang (276,604 ton), Luwu (672,374 ton), Luwu Utara (853,779 ton), Luwu Timur (328,752 ton), Wajo (698,665 ton) dan Tana Toraja (732,263 ton).     
DAYA DUKUNG HIJAUAN PADANG PENGGEMBALAAN          
            Daya dukung hijauan padang penggembalaan adalah kemampuan suatu wilayah menghasilkan pakan berupa hijauan dari padang penggembalaan tanpa melalui pengolahan, dan dapat menyediakan pakan untuk menampung sejumlah populasi ternak ruminansia. Dalam menghitung daya dukung limbah tanaman pangan digunakan asumsi kebutuhan pakan ternak ruminansia. Asumsi yang digunakan yaitu bahwa satu satuan ternak (1 ST) ternak ruminansia rata-rata membutuhkan hijauan adalah 12.775 kg/tahun atau 12,77 ton/tahun.
Berdasarkan asumsi di atas maka dilakukan perhitungan daya dukung produksi hijauan padang penggembalaan yaitu jumlah produksi hijauan padang penggembalaan dibagi dengan kebutuhan satu satuan ternak selama setahun. Dengan jumlah produksi hijauan padang penggembalaan di Sulawesi Selatan sebesar 4,905,804 ton (Tabel 1), setelah dilakukan perhitungan daya dukung pakan maka produksi hijauan tersebut dapat menampung atau menyediakan pakan hijauan untuk ternak ruminansia sebanyak 384,016 ST. Jumlah daya dukung sebesar 384.016 ST jauh lebih rendah dibandingkan jumlah populasi ternak ruminansia di Sulawesi Selatan sebesar 576.701 ST. Fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa potensi padang penggembalaan di Sulawesi Selatan tidak dapat sepenuhnya menyediakan hijauan untuk ternak ruminansia.










PEMBAHASAN

            Rumput-rumputan dan berbagai bentuk padang rumput selain mempunyai peran sebagai sumber pakan/nutrisi untuk mendukung kehidupan ternak ruminansia juga merupakan faktor penyebab perubahan budaya pertanian diberbagai belahan dunia. Disampaikan bahwa salah satu pusat perkembangan budaya pemeliharaan sapi pada berbagai wilayah dunia, termasuk Eropa, adalah kawasan padang rumput alam yang disebut stepa Eroasia (Eurasia steppes). Padang rumput alam ini sangat luas, terbentang antara Eropa Timur dan Ukraina di Barat serta Mongolia dan Mancuria di Timur. Pemeliharaan sapi itu bertumpu pada ketersediaan rerumputan pada padang rumput alam yang dapat diaksesnya sebagai sumber pakan yaitu stepa Eroasia. Karena stepa Eroasia secara periodik mengalami kekeringan yang berakibat pada berkurangnya produksi rumput maka suku bangsa Kurga harus melakukan ekspansi untuk mencukupi pakan untuk sapi mereka yang jumlahnya menjadi semakin banyak.


Gambar 2.1. Peta daerah bentangan stepa Eroasia dari Hongaria disebelah Barat hingga Manchuria disebelah Timur serta suasana stepa tersebut yang berupa bentangan padang rumput luas

Padang rumput
Kenyataan menunjukkan bahwa rerumputan adalah komponen vegetasi yang menutupi lebih dari setengah permukaan lahan didaerah tropis dan sub-tropis. Adapun padang rumput (dalam bahasa Inggris disebut grassland) adalah tipikal dataran terbuka atau lahan yang ditumbuhi rumput-rumputan tinggi atau rendah disertai tanaman-tanaman semak dengan tidak ada atau ada sedikit tanaman perdu serta pohon-pohonan. Biasanya, perdu dan/atau pohon-pohonan itu berada disepanjang daerah aliran air hujan atau tempat penampungan air hujan. Apabila jenis rumput yang tumbuh pada padang rumput bersifat endemik atau asli setempat maka rumput itu disebut dengan rumput alam. Jenis padang rumput alam ini masih dapat dijumpai di semua benua: Afrika, Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, Asia dan Australia. Disamping itu, terdapat pula padang rumput buatan yang sengaja dibuat dengan menanam jenis-jenis hijauan pakan ternak hasil seleksi atau pemuliaan tanaman yang bermutu.
Terminologi
Pada tahun 1966, Pratt, Greenway dan Gwynne mengusulkan penggunaan luas kanopi (canopy cover) dari pohon-pohonan dan tanaman semak serta perdu sebagai kriteria padang rumput. Usulan itu mendefinisikan padang rumput sebagai area yang didominasi rumput-rumputan namun terdapat pula pohon-pohonan, tanaman perdu serta semak secara menyebar atau mengelompok dengan luas kanopi tidak lebih dari dua persen dari total area. Apabila kanopi dimaksud luasnya berada diantara dua sampai dua puluh persen maka area tersebut didefinisikan sebagai padang rumput bertanaman kayu-kayuan dan semak (bushed and wooded grasslands). Definisi ini dapat diterima oleh kalangan ahli padang rumput seperti disampaikan dalam pustaka bidang hijauan pakan ternak yang disusun oleh misalnya Mannetje (1978) serta Crowder dan Chheda (1982). Namun, antar lokasi atau ekologi dijumpai hamparan padang rumput dengan komposisi antara rumput, semak dan pepohonan yang beragam hingga memerlukan terminologi tertentu untuk menyebutnya seperti dibawah ini.
- Sabana. Kawasan yang disebut sabana adalah kawasan dengan vegetasi rumput-rumputan serta tanaman berkayu. Dikenal pula sebagai ekosistem tanam-tanaman berkayu. Ruang antar pohon cukup luas karena kanopi antar pohon tidak saling menutup. Ruang antar kanopi yang terbuka itu memungkinkan sinar matahari mencapai permukaan lahan untuk menunjang kehidupan rerumputan. Seringkali sabana dijumpai sebagai bentuk transisi antara ekosistem hutan dan padang pasir. Istilah sabana (dalam bahasa Inggris disebut savana) pertama kali digunakan pada tahun 1535 oleh Oviedo dengan mengacu pada suatu kata dari bahasa Spanyol zavana yang dipakai untuk menggambarkan area terbuka dengan lembah-lembah yang ditumbuhi rerumputan sperti llanos yang ada di kawasan Venezuela  
- Stepa. Pada awalnya, istilah stepa (dalam bahasa Inggris disebut steppe) digunakan untuk menyebut kawasan di Rusia dan Asia yang ditumbuhi vegetasi yang tidak membutuhkan banyak air untuk hidupnya. Stepa secara fisik mempunyai persamaan dengan Prairie dibenua Amerika. Perbedaanya adalah bahwa prairie didominasi oleh jenis-jenis rumput yang tumbuh tinggi sedangkan rumput pada kawasan stepa adalah jenis-jenis yang tumbuh pendek.
Selain definisi padang rumput seperti yang disampaikan oleh Pratt dkk (1966) diatas, terdapat definisi lain yang disampaikan oleh Mannetje (1978). Penulis yang disebutkan terakhir itu mendefinisikan padang rumput sebagai suatu ekosistem sumber pakan hijauan untuk ternak ruminansia. Kata ekosistem dalam pengertian ini mengandung arti bahwa manusia berkepentingan dengan seluruh komponen-komponen sistem padang rumput seperti tanah, tanaman, faktor-faktor iklim pendukungnya serta ruminansia yang pakannya bergantung pada padang rumput itu secara langsung atau tidak langsung. Ketergantungan ruminansia terhadap padang rumput terjadi secara langsung pada sistem ekstensip dimana ternak merumput (grazing) pada padang rumput. Sedangkan pada sistem intensif dimana pemberian pakan dilakukan secara cut and carry maka ternak tidak berinteraksi langsung dengan padang rumputnya.
Pertanian Padang Rumput
Ternyata manusia memanfaatkan kekayaan ekosistem itu untuk peningkatan kesejahteraannya. Seperti telah disampaikan pada sub-bab 2.1. bahwa ribuan tahun sebelum masehi stepa Ero-Asia telah dimanfaatkan sebagai basis kegiatan pemeliharaan sapi. Ternak ini menjadi ukuran kesejahteraan masyarakat suku bangsa Kurga. Disamping itu, kebutuhan akan padang rumput untuk memelihara sapi yang menjadi semakin banyak telah mendorong suku bangsa Kurga untuk melakukan ekspansi guna memperluas penguasaan teritorialnya. Setelah sapi dan budaya pemanfaatan padang rumput meluas hingga ke Eropa maka terjadilah periode intensifikasi pemanfaatan padang rumput. Tercatat dalam sejarah budaya pemeliharaan sapi bahwa pada tahun 1800-an, bangsa Irlandia dan Skotlandia melakukan investasi demi mengintensifkan pemanfaatan padang rumput yang mereka miliki sebagai sarana memelihara sapi untuk memproduksi daging. Konsumen utama daging itu adalah orang-orang Inggris yang dikenal sebagai konsumen paling fanatik di Eropa. Kemudian, pada tahun 1870-an para imigran Inggris tercatat mulai memanfaatkan padang rumput yang ada di benua Amerika untuk memelihara sapi dan menghasilkan daging. Dari waktu ke waktu, kegiatan itu semakin berkembang sehingga para pengusaha Bank di Amerika, investor dari Edinburg-Scotland dan para spekulator lokal melakukan investasi secara besar-besaran. Padang rumput dipandang sebagai tambang emas karena dengan investasi yang dilakukan itu dapat diproduksi daging untuk memasok kebutuhan masyarakat Eropa, terutama Inggris.
Adanya keuntungan yang diperoleh dari memanfaatkan padang rumput untuk memelihara sapi dan menghasilkan daging seperti disampaikan diatas telah mendorong terbentuknya suatu bentuk pertanian padang rumput (grassland agriculture). Pertanian ini bertumpu pada tata-laksana pemanfaatan lahan untuk budidaya rumput-rumputan dan leguminosa dalam rangka usaha produksi ternak ruminansia. Usahatani padang rumput (grassland farming) kemudian berkembang sebagai salah satu bentuk kegiatan manusia. Tujuan kegiatan pertanian itu adalah memanfaatan padang rumput untuk menyediakan pakan murah dalam bentuk rumput-rumputan, hoi atau silase. Usaha itu tidaklah mudah karena ternyata sistem produksi padang rumput adalah cukup kompleks apalagi, setelah manusia berkeinginan memanfaatkannya secara lebih efisien. Berbagai persoalan yang berkembang dalam tatalaksana pemanfaatan padang rumput kemudian membutuhkan penanganan secara ilmiah. Bagaimana mendapatkan produksi hijauan yang bermutu dalam jumlah banyak dan bagaimana memanfaatkannya secara optimal merupakan contoh dari persoalan padang rumput yang memerlukan jawaban empiris. Situasi itu telah mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan tentang padang rumput (science of grassland).
Pada masa sekarang, pertanian padang rumput tidak hanya membudidayakan rumput namun juga leguminosa. Integrasi kedua jenis tanaman itu dalam pertanian padang rumput memberikan berbagai manfaat untuk petani serta masyarakat luas. Manfaat itu meliputi hal-hal seperti terlindunginya tanah dari erosi oleh air dan/atau angin, tersedianya pakan bermutu yang murah untuk ternak ruminansia dan juga satwa liar, tersedianya habitat yang baik untuk satwa liar (seperti halnya pada taman-taman safari) serta terjaganya kesuburan lahan karena bahan organik lahan mengalami penambahan secara lebih berkelanjutan.
Perkembangan manajemen padang rumput (grassland) sebagai basis produksi sapi lebih lanjut melahirkan terminologi lain yaitu pastura (pasture). Adapun yang dimaksud dengan terminologi ini adalah lahan pada suatu unit usahatani atau ranci (ranch) yang ditumbuhi vegetasi untuk dirumput ternak ruminansia. Pada tahun 1990-an dimana teknologi manajemen pastura semakin berkembang maka batas pastura antar tiap unit usahatani semakin jelas dengan adanya pagar listrik (electronic fence). Pastura semakin berkembang dinegara-negara yang maju peternakannya seperti Amerika, Australia dan negara-negara di Eropa. Melalui manajemen pastura yang bertujuan mendapatkan produksi ternak tinggi maka padang rumput alam diperbaiki dengan melakukan introduksi jenis-jenis hijauan yang unggul dari segi mutu maupun kuantitas produksinya disertai tata-laksana pengelolaan lahan dan pengairan.                                
Riset dan Organisasi Pengembangan Padang Rumput
Padang rumput telah lama dirasakan sebagai bagian kehidupan yang memberikan berbagai manfaat untuk pengelolanya serta masyarakat luas. Walaupun demikian peningkatan pemanfaatannya dirasa perlu terus-menerus dikembangkan untuk mendapatkan efisiensi sistem produksi ternak ruminansia yang lebih baik. Diperkirakan pada abad enam belas peternak di Inggris mulai memperbaiki padang rumput alam dengan rumput-rumput hasil seleksi. Hal ini diikuti dengan mulai diterapkannya teknik pembuatan padang rumput campuran antara rumput dan leguminosa pada abad tujuh belas. Seratus tahun kemudian, pola ley farming yaitu penggunaan lahan secara bergantian untuk produksi tanaman pangan dan rumput diterapkan. Pemupukan padang campuran rumput dan leguminosa mulai dilakukan pada sekitar tahun 1880-an. 


Hijauan Pakan Ternak
Sejalan dengan kegiatan manusia untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari ternak ruminansia, padang rumput alam diperbaiki mutunya dengan melakukan introduksi jenis-jenis tanaman unggul sebagai hijauan pakan ternak. Pastura, pada umumnya dikembangkan dengan membudidayakan jenis-jenis rumput dan leguminosa pakan ternak yang unggul dari segi kualitas dan produksinya. Hal itu dapat dilihat secara nyata pada peternakan ruminansia berbasis pastura seperti yang ada di Australia, Amerika atau Eropa. Untuk itu, lahan sepenuhnya digunakan untuk budidaya jenis-jenis rumput dan/atau leguminosa pakan ternak hasil seleksi yang mempunyai manfaat secara spesifik untuk ruminansia.
Hijauan pakan ternak pada kawasan pertanian campuran lebih beragam daripada di kawasan pastura. Beragam jenis hijauan itu, oleh masyarakat petani-ternak di pedesaan di Jawa disebut dengan satu kata yaitu rumput. Penyebutan beragam jenis vegetasi dengan istilah rumput juga dilakukan ditingkat akademisi dan peternak negara-negara maju. Sebagai contoh, istilah padang rumput yang dalam bahasa inggris disebut grassland sebenarnya tidak menunjukkan suatu area yang hanya ditumbuhi rumput-rumputan saja. Kenyataan menunjukkan bahwa padang rumput juga ditumbuhi beragam jenis vegetasi termasuk rumput, leguminosa, tanaman semak maupun pohon-pohonan. Untuk tidak terjebak dengan persoalan semantik, jenis-jenis hijauan yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia atau hijauan pakan ternak pada kawasan yang berbasis pada pastura, padang rumput atau pada kawasan dengan pemberian pakan secara zero grazing dapat dikelompokkan atas rumput, leguminosa, daun-daunan dan limbah pertanian.
Sebelum membicarakan lebih lanjut tentang masing-masing jenis hijauan pakan ternak, terlebih dahulu akan disampaikan berbagai terminologi dalam pustaka-pustaka asing yang seringkali membingungkan pembacanya. Terminologi tersebut hadir sebagai hasil aktivitas manusia memanfaatkan padang rumput alam hingga menjadi pastura yang difasilitasi oleh riset dan teknologi. Adapun terminologi dimaksud yaitu:
- Forage. Terminologi ini menunjuk pada bagian-bagian tanaman yang dapat dimakan oleh ternak (edible parts of plants) dengan cara dirumput (grazing) atau dipanen sebagai pakan (zero grazing). Namun, biji dari tanaman dimaksud tidak termasuk dalam pengertian forage.
- Herbage. Adapun yang dimaksud dengan herbage adalah biomasa tanam-tanaman semak yang berada diatas tanah tempat tumbuhnya serta akar yang dapat dimakan ternak dan umbi. Biji dari tanaman dimaksud tidak termasuk dalam pengertian herbage.
- Browse. Adapun yang dimaksud dengan terminologi ini adalah daun dan tangkai daun tanam-tanaman perdu, woody vines, pohon, kaktus serta vegetasi bukan semak yang dapat dikonsumsi oleh ternak.
- Fodder. Terminologi ini menunjukkan jenis-jenis rumput kasar seperti jagung serta sorghum yang dipanen saat daunnya masih hijau (segar) bersama-sama bijinya dan mengalami perlayuan dilapangan sebelum semuanya diberikan kepada ternak.
- Residue. Adapun yang dimaksud dengan residue adalah forage yang tinggal dilahan pertanian sebagai konsekuensi dari panen tanaman.
- Silage. Adapun yang dimaksud dengan silage adalah forage yang diawetkan dalam keadaan segar. Pengawetan dilakukan pada kondisi an-aerob atau kedap udara.
- Hay. Adapun yang dimaksud dengan hay adalah rumput atau jenis tanaman lain yang dipanen kemudian dikeringkan dan digunakan sebagai pakan ternak.
- Haylage. Adapun yang dimaksud dengan haylage adalah produk dari pembuatan silase dengan kadar air sekitar 45%.
Selanjutnya, definisi dari rumput dan leguminosa disampaikan secara lebih ekstensif seperti dapat diikuti dari uraian pada sub-bab dibawah ini.
 Rumput
Rumput tergolong dalam Famili Gramineae yaitu tanaman monokotiledon (bijinya terdiri atas satu kotiledon atau disebut juga berkeping satu). Struktur rumput relatif sederhana, terdiri dari akar yang bagian atasnya silindris dan langsung berhubungan dengan batang. Batangnya berbuku, helai daunnya keluar dari pelepah daun (sheath) pada buku batang. Malai rumput terdiri atas beberapa bunga yang nantinya menghasilkan biji. Hampir semua rumput adalah tanaman herba (tidak berkayu) sedangkan ukuran, bentuk dan pola tumbuhnya sangat beragam.
Asal usul rumput sebagai suatu jenis tanaman spesifik belum diketahui dengan pasti. Sejarah mencatat bahwa rumput sudah menjadi vegetasi di dunia sejak 20 juta tahun yang lampau. Penyebaran rumput pada seluruh benua mengalami akselerasi pada jaman es Pleistocene sekitar satu juta tahun yang lalu. Penyebarannya pada beragam lingkungan serta persilangan-persilangan yang terjadi secara alamiah menyebabkan rumput-rumputan semakin beragam.
            Terdapat lebih dari 600 genus dan lebih dari 10.000 species rumput didunia ini namun hanya sekitar puluhan sampai ratusan species yang dibudidayakan manusia. Diantara berbagai species itu, yang paling populer di Indonesia adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum). Rumput ini memang paling menonjol dipromosikan untuk dibudidayakan di kawasan pertanian campuran dimana lahan yang dapat dialokasikan untuk menanam rumput relatif sempit. Pada satu unit lahan maka rumput gajah memberikan biomasa yang besar dibandingkan jenis rumput lain. Hal itu dikarenakan rumput itu tumbuh tegak dan tinggi, mencapai 1,5 meter, sehingga jumlah biomasa per unit tanamannya lebih tinggi daripada jenis-jenis rumput yang tumbuh pendek. Pada Gambar 2.2. dapat dilihat bahwa rumput gajah dapat melebihi tinggi manusia jika dibiarkan lama tidak dipotong atau dipanen.


Gambar 2.2. Tanaman rumput gajah (Pennisetum purpureum) yang populer dibudidayakan sebagai pakan hijauan untuk ruminansia di ndonesia

 Sebagai Bahan Pangan
Kehadiran rumput didunia tidak hanya bermanfaat untuk kehidupan ruminansia. Interaksi rumput dengan manusia secara langsung telah menjadikan rumput sebagai bagian dari budaya pangan manusia. Dahulu kala, diperkirakan sebelum 13.000 tahun yang silam, manusia masih hidup secara nomadik. Migrasi yang dilakukan manusia dari satu lokasi ke lokasi lain juga disertai dengan proses mengumpulkan biji dari beragam jenis tanaman untuk dibawa sebagai persediaan pangan. Sebagian besar biji tanaman yang dikumpulkan itu berasal dari rumput-rumputan (Crowder dan Chheda, 1992). Beberapa jenis tanaman itu mengalami perkawinan silang pada lingkungan barunya sehingga menambah keragaman jenis tanaman penghasil pangan. Dalam perkembangan budaya manusia, sekitar 11.000 tahun yang silam, seleksi mulai dilakukan terhadap jenis-jenis tanaman yang paling disukai manusia untuk dikembangkan demi mengamankan ketersediaan pangan mereka.
Budidaya jenis-jenis rumput sebagai tanaman pangan mulanya dilakukan dengan pola berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain sehingga budidaya dapat selalu dilakukan pada lahan yang subur (slash and burn agriculture). Hal ini, kecuali dapat menjamin produksi butiran untuk pangan juga memfasilitasi penyebaran dan kehadiran jenis-jenis rumput lain. Karena, setelah biji tanaman pangan dipanen untuk pangan kemudian lahan tempat tumbuhnya ditinggalkan untuk berpindah ke lahan lain maka lahan yang ditinggalkan secara alamiah akan ditumbuhi rumput-rumputan semusim, diikuti rumput-rumputan tahunan dan kemudian tanaman-tanaman berkayu. Rumput-rumputan ini menjadi sumber pakan alamiah untuk ruminansia.
Sebagai Bahan Pakan
Padang rumput alam di Indonesia khususnya Sulawesi tenggara secara tradisional telah menjadi sumber pakan ruminansia yang merumput di padang itu. Investor yang berupaya mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan padang rumput alam untuk memproduksi daging atau susu melakukan investasi memperbaiki produktivitas padang rumput alam. Hal ini difasilitasi pula oleh riset yang memungkinkan efisiensi tatalaksana pemanfaatan padang rumput serta seleksi jenis-jenis rumput yang sesuai untuk dibudidayakan dalam rangka peningkatan produktivitas.
Untuk tujuan memperbaiki padang rumput alam, membangun pastura ataupun untuk keperluan pemuliaan hijauan pakan ternak terdapat karakteristik yang diharapkan dari jenis-jenis rumput ataupun leguminosa yang akan diseleksi. Karakteristik harapan itu dapat bersifat umum atau spesifik. Adapun karakter harapan yang spesifik itu bergantung pada situasi kondisi tertentu dimana rumput atau leguminosa terseleksi akan dimanfaatkan. Sedangkan karakter yang secara umum diharapkan dari rumput atau leguminosa adalah mampu berproduksi tinggi dengan kualitas baik, persisten, mampu ber-asosiasi dengan jenis-jenis hijauan lain serta mudah untuk dikembangbiakkan. Karakteristik tersebut pada akhirnya harus dapat memberikan produksi ternak yang tinggi. Adapun diskripsi dari masing-masing karakter itu adalah:
1. Kemampuan Produksi dan Kualitas Tinggi. Artinya, bahwa hijauan mampu menghasilkan bahan kering yang tinggi, toleran terhadap cekaman air, temperatur tinggi ataupun rendah, mempunyai tingkat kecernakan dan palatabilitas tinggi sehingga dapat dikonsumsi ternak dalam jumlah tinggi pula.
2. Persisten. Berbeda dengan tanaman pangan maka hijauan pakan ternak, rumput atau leguminosa, diharapkan untuk lebih permanen pada pastura. Untuk itu maka mereka diharapkan untuk tahan terhadap pemotongan normal ataupun penggembalaan, mampu menghasilkan biji, tahan kekeringan, temperatur ekstrim dan api serta tahan terhadap penyakit dan serangan hama
3. Mampu berasosiasi dengan species lain. Berbagai pastura seringkali dibangun dengan mencampur rumput dan leguminosa dengan tujuan menyediakan hijauan berkualitas tinggi secara kontinyu, menyediakan ransum seimbang dalam hal protein, energi dan mineral serta menekan kebutuhan pupuk nitrogen dengan memanfaatkan transfer nitrogen dari leguminosa pada rerumputan. Terkait dengan hal ini, beberapa faktor yang relevan dengan kemampuan ber-asosiasi yang perlu diperhatikan adalah sifat tumbuh tanaman (membelit, merayap atau vertikal), kemampuan berkompetisi atas unsur hara ataupun sinar matahari, mempunyai palatabilitas baik dan mempunyai respon yang positip terhadap pemotongan
4. Mudah dikembangbiakkan. Meskipun diketahui berbagai jenis rerumputan ataupun leguminosa dapat dikembangbiakkan dengan stek ataupun sobekan rumpun (secara vegetatip) tetapi kemampuannya untuk menghasilkan biji perlu mendapatkan perhatian. Hal tersebut untuk memastikan adanya regenerasi tanaman seandainya terjadi keadaan alamiah yang tidak diharapkan seperti musim kering yang panjang dan memungkinkan pembuatan padang rumput baru melalui cara generatip. Apabila kemampuan hijauan pakan ternak menghasilkan biji adalah buruk maka kemungkinan akan menimbulkan beberapa masalah seperti mahalnya harga biji tanaman itu dan kegiatan seleksi serta pemuliaan dapat terhambat karena biji yang tersedia untuk evaluasi hanya sedikit.
Leguminosa
Leguminosa adalah tanaman dikotilledon (bijinya terdiri dari dua kotiledon atau disebut juga berkeping dua). Famili tanaman leguminosa terbagi atas tiga sub-famili yaitu Mimosaceae, Caesalpinaceae dan Papilionaceae. Mimosaceae adalah tanaman perdu berkayu dengan bunga biasa sedangkan Caesalpinaceae mempunyai bunga irregular. Adapun Papilionaceae adalah tanaman semak berkayu dengan bunga papilionate atau berbentuk seperti kupu. Antar jenis leguminosa terdapat perbedaan morfologi. Umumnya, sistem perakaran leguminosa terdiri atas akar primer yang aktif dan mempunyai cabang-cabang sebagai akar sekunder. Akar primer (tap root) tumbuh jauh kedalam tanah. Sistem perakaran itu umumnya terinfeksi oleh bakteri dari species Rhizobium sehingga terbentuk bintil-bintil atu nodul-nodul akar. Antara bakteri dan tanaman leguminosa terjadi simbiose mutualistik. Untuk pertumbuhannya, bakteri menggunakan Nitrogen yang diserap dari udara dan kemudian populasi bakteri yang mati menjadi sumber Nitrogen untuk pertumbuhan tanaman leguminosa.
Bentuk dasar leguminosa yang ada saat itu seperti pohon-pohon tropika. Kemudian, interaksinya dengan dengan mamalia primitif pada era itu (seperti Dinosaurus) yang bersifat browser (meramban daun pepohonan) serta injakan mamalia besar itu membuat pohon leguminosa mengalami penurunan populasi dan evolusi. Struktur tanaman ini mengalami modifikasi menjadi tanaman semak, tanaman pemanjat berkayu, tanaman musiman dan akhirnya menjadi tanaman tahunan. Tanaman leguminosa ini tersebar diseluruh benua namun tidak pernah menjadi tanaman yang dominan pada suatu kawasan seperti layaknya rumput. Apabila rumput secara alamiah dapat menjadi tanaman dominan pada suatu kawasan sehingga membentuk padang rumput (grassland) tetapi, tidak ada suatu kawasan didunia yang dapat disebut sebagai padang leguminosa (legumelands).. Umumnya jumlah leguminosa di padang rumput tidak lebih dari 10 persen dari jenis-jenis tanaman di padang itu.
Seperti halnya rumput, melalui proses seleksi yang dilakukan manusia terhadap biji-bijian sejak budaya hidup masih secara nomadik hingga menetap maka sebagian jenis-jenis leguminosa berkembang menjadi bahan pangan. Jenis-jenis leguminosa pangan yang kita kenal saat ini adalah seperti Glycine max, Arachis hypogea, Vigna sinensis. Peran penting dari leguminosa tropika sebagai hijauan pakan untuk pastura maupun pakan ternak ruminansia baru mendapatkan perhatian sejak tiga dekade yang lalu. Sebelum kurun waktu itu, ilmuwan lebih memperhatikan jenis-jenis leguminosa temperate seperti species-species dari genus Medicago, Trifolium, Vicia dan Melilotus. Melalui riset maka dari benua Afrika mulai dikenal manfaat jenis-jenis leguminosa tropika seperti dari genus Glycine, Vigna, Indigofera, Dolichos dan Alysicarpus.
Daun-daunan
Adapun yang dimaksud dengan daun-daunan dalam sub-bab ini adalah daun-daunan dari tanaman yang tidak tergolong sebagai jenis tanaman yang secara konvensional dikenal sebagai hijauan pakan ternak seperti rumput-rumputan ataupun leguminosa. Mereka dapat tergolong sebagai tanaman buah-buahan ataupun tanam pohon dikawasan hutan. Penggunaan daun-daunan ini umumnya dapat diamati dikawasan pertanian intensif dinegara-negara tropis, khususnya pada musim kemarau yang merupakan periode dimana jenis-jenis hijauan pakan ternak konvensional sulit didapatkan. Adapun beberapa jenis daun-daunan yang dimaksud misalnya berasal dari tanaman alpukat (Persea sp), nangka (Artocarpus sp) serta pisang (Musa sp). Jenis-jenis pohon yang daunnya dilaporkan digunakan sebagai pakan ruminansia di kawasan asia meliputi Erythrina variegata, Ficus (F. exasperata, F. bengalnensis, F. religiosa), Albizia lebbeck, Tamarindus indica, Cajanus cajan (Devendra, 1990).
Limbah tanaman pertanian
Limbah tanaman pertanian yang dimaksud dalam sub-bab ini adalah bagian-bagian dari tanaman yang dibudidayakan setelah produk utamanya dipanen untuk kepentingan manusia. Khususnya pada kawasan tropis dimana pemeliharaan ruminansia dilakukan oleh mereka yang mengoperasikan sistem pertanian campuran maka petani-ternak pada kawasan itu juga memanfaatkan limbah tanaman pertanian yang dibudidayakannya sebagai pakan untuk ternak ruminansia mereka. Adapun jenis-jenis limbah tersebut beragam antar lokasi, tergantung pada jenis tanaman pertanian yang dibudidayakan setempat. Pada kawasan Asia-Pasifik, jenis-jenis limbah pertanian itu meliputi jerami padi, jerami kacang tanah, jerami kacang kedelai, tebon jagung, jerami sorghum, daun ketela pohon, daun ketela rambat, daun talas dan pucuk tebu. Jenis-jenis limbah dimaksud selaras dengan jenis-jenis tanaman pertanian yang umum dibudidayakan.
Sejalan dengan penggunaan limbah pertanian seperti dimaksud diatas, petani ternak juga mengembalikan kotoran ternak yang dihasilkannya ke lahan pertanian sebagai pupuk. Kondisi itu menjadikan pola pertanian campuran pada sebagian besar kawasan tropis bersifat terintegrasi antara tanaman dan ternak dengan tujuan memaksimumkan sumberdaya pada tingkat rumahtanggatani (Schiere dan Kater, 2001). Integrasi semacam itu akhir-akhir ini menjadi semakin populer dikawasan empat musim sebagai bagian sistem pertanian yang disebut New Conservation Agriculture.
Khususnya untuk jenis tanaman jagung, pada kawasan tropika, menghasilkan tebon jagung setelah buah jagungnya dipanen untuk konsumsi manusia. Oleh petani-ternak, tebon jagung dapat langsung diberikan kepada ternak dalam keadaan segar atau terlebih dahulu dikeringkan matahari menjadi hoi (hay) kemudian disimpan dan diberikan kepada ternak pada saat musim paceklik pakan (umumnya terjadi pada musim kemarau). Pada berbagai negara dikawasan empat musim, tanaman ini justru dibudidayakan sebagai hijauan pakan ternak. Tanaman jagung dipanen sekaligus bersama buahnya untuk diberikan kepada ternak ruminansia sebagai sumber zat makanan dan energi. Jenis tanaman ini juga dibudidayakan untuk diawetkan dalam bentuk segar yang disebut silase untuk digunakan sebagai pakan pada musim dingin (winter). Saat itu ternak tidak dapat merumput di padang rumput yang bersalju dan harus dikandangkan dan diberi pakan silase jagung.














PENUTUP
Kesimpulan
Sulawesi Tenggara merupakan wilayah yang sangat potensial untuk pengembangan ternak terutama sapi, karena didukung oleh sumberdaya alamnya yang sangat potensial bagi penyediaan  hijauan pakan. Sapi Bali merupakan jenis ternak sapi yang sangat dominan di wilayah ini. Pada tahun 2007 (data tahun 2006) tercatat jumlah sapi di propinsi Su;awesi Tenggara mencapai 222.350 ekor. Upaya peningkatan populasi ternak sapi terus diupayakan oleh pemerintah daerah setempat terutama oleh dinas yang terkait. Beberapa pakan unggul seperti Glyricidea (gamal), lamtoro, rumput gajah, setaria, brachiaria sudah ada di hampir seluruh wilayah Sulawesi Tenggara. Namun demikian, menurut petani pada saat-saat tertentu terutama di musim kemarau ketersediaan pakan bagi sapi terasa kurang sehingga perlu diupayakan kecukupan pakan selama periode tersebut.
Luas lahan padang penggembalaan di Sulawesi tenggara menunjukkan kecenderungan semakin berkurang. Dengan demikian produktivitas padang penggembalaan sebagai basis ekologi penyedia hijauan bagi ternak ruminansia juga mengalami penurunan. Hasil estimasi produksi hijauan padang penggembalaan sebesar 4,905,804 ton, dan dapat menyediakan hijauan untuk ternak ruminansia sebesar 384,016 ST. Jika dibandingkan dengan populasi ternak ruminansia di Sulawesi Selatan sebesar 576.701 ST, maka daya dukung tersebut jauh lebih rendah dibandingkan jumlah populasi ternak ruminansia. Upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi kekurangan hijauan dari padang penggembalaan adalah perbaikan padang penggembalaan, pemanfaatan dan penanaman rumput unggul dan leguminosa pohon, serta optimalisasi pemanfaatan biomas limbah pertanian dan industri.
 Peningkatan produksi ternak khususnya ternak ruminansia akan berhasil dengan baik jika ketersediaan pakan hijauan sebagai sumber pakan dapat dipenuhi secara kualitas dan kuantitas dan tersedia secara kontinyu. Hijauan makanan ternak bersumber dari padang rumput alam atau dengan melakukan penanaman hijauan makanan ternak. Jenis dan kualitas hijauan dipengaruhi oleh kondisi ekologi dan iklim di suatu wilayah
           















DAFTAR PUSTAKA

Crowder, L.V. and Chheda, H.R. 1982. Tropical Grassland Husbandry. Longman                   Inc . New York.

Flannery, K.V. 1969. Origin and Ecological Effects of Early Domestication in                         Iran and The Near East. In P.J. Ucko and G.W. Dimbleby (eds). The                       Domestication and Exploitation of Plants and Animals. Gerald                                        Duckworth London, pp 12-100.

Ifar,S dan Bambang, A.N. 2002. Potensi dan Prospek Usaha Peternakan Sapi                       Potong di Kawasan Timur Indonesia (KTI) Dalam                                                   Kerangka  Pengembangan Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET)                     .  Semiloka Strategi Pengembangan  KAPET di Kawasan Timur Indonesia                dalam  Menghadapi Era Global, 5-  6 Juli, Universitas Brawijaya.

Keay, R.W.J. 1959. Vegetation Map of Africa South of The Tropic of Cancer.                      Oxford             Univ. Press. London.

Mannetje, L.’t. 1978. The Role of Improved Pastures for Beef Production in The                  Tropics. Trop. Grassland 12, 1-9

Pratt, D.J., Greenway, P.J. and Gwynne, M.D, 1966. A Classification of East                       African            Rangeland, With An Appendix on Terminology. J. Appl.                    Ecol. 3, 369-382

Rifkin, J. 1993. Beyond Beef. The Rise and Fall of The Cattle Culture. Penguin                    Books USA Inc. New York.

Reed, C.A. 1969. The Pattern of Animal Domestication in the Prehistoric Near                     East.    In P.J. Ucko and G.W. Dimbleby (eds). The Domestication and                         Exploitation    of Plants and Animals. Gerald Duckworth: London, pp         :  261-380

Ruthenberg, H. 1980. Farming Systems in The Tropics. Clarendon Press. Oxford.

Schiere, H dan Kater, L. 2001. Mixed Farming Systems. Mixed Crop-Livestock                   Farming, A Review of Traditional Technologies. An FAO Report Based                   on Literature and Field Experiences. FAO Rome.

Stewart, O.C. 1956. Fire as The First Great Force Employed by Man. In H.L.                       (ed). Man’s Role in Changing the Face of the Earth. Univ. Chicago Press      .               Pp: 115 -133.
TUGAS
MANAJEMEN PASTURA
(PROSPEK PENGEMBANGAN HIJAUAN PAKAN TERNAK)







OLEH :

        NAMA         :BASRUDIN
STAMBUK           :D1B4 10 086
                                        KELAS        :B

JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah yang berjudul “Prospek pengrmbangan hijauan pakan ternak” ini disusun agar dapat bermanfaat sebagai media sumber informasi dan pengetahuan mengenai berbagai manajemen pastura. Penulis berharap agar materi yang dipaparkan mudah untuk dipahami oleh semua kalangan. Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dan memberikan bantuan sehingga makalah ini dapat selesai.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat dibutuhkan.



                                                                                   

Kendari, 28 oktober  2012
           
                                                                                                             Penulis