PENDAHULUAN
A. Latae Belakang
Sulawesi Tenggara merupakan wilayah yang
sangat potensial untuk pengembangan ternak terutama sapi, karena didukung oleh
sumberdaya alamnya yang sangat potensial bagi penyediaan hijauan pakan.
Sapi Bali merupakan jenis ternak sapi yang sangat dominan di wilayah ini. Pada
tahun 2007 (data tahun 2006) tercatat jumlah sapi di propinsi Su;awesi Tenggara
mencapai 222.350 ekor.
Upaya peningkatan populasi ternak sapi terus diupayakan oleh pemerintah
daerah setempat terutama oleh dinas yang terkait. Beberapa pakan unggul seperti
Glyricidea (gamal), lamtoro, rumput gajah, setaria, brachiaria sudah ada di
hampir seluruh wilayah Sulawesi Tenggara. Namun demikian, menurut petani pada
saat-saat tertentu terutama di musim kemarau ketersediaan pakan bagi sapi
terasa kurang sehingga perlu diupayakan kecukupan pakan selama periode
tersebut.Berkaitan dengan hal tersebut, saat ini BPTP Sulawesi Tenggara sedang
melakukan uji adaptasi enam spesies legume untuk pakan ternak, baik di lahan kering
maupun di lahan sawah. Pengujian dilaksanakan di kecamatan Ladongi Kabupaten
Kolaka. Keenam spesies tersebut adalah Dolichos lab-lab, Clitoria ternatea,
Macroptilium purpureum, Centrosema pascourum, Stylo hamata dan Desmanthus
vergatus. Kini pertanaman di lapangan memasuki fase generatif. Kegiatan ini
merupakan kerjasama antara BPTP Sulawesi Tenggara dengan ACIAR (Australian
Centre Institute for Agricultural Research).
Menurut peneliti yang menangani
kegiatan pengujian hijauan pakan ternak tersebut, Ir. Muh. Rusman, MP, daya
adaptasi beberapa spesies legume yang diuji cukup baik. Untuk menentukan
spesies mana yang paling adaptif (paling unggul) berdasarkan biomass yang
dihasilkan, kini sedang dilakukan evaluasi di laboratorium BPTP Sultra. Kepala
BPTP Sultra Dr. Didik Harnowo menjelaskan bahwa dengan adanya kegiatan uji
adaptasi beberapa spesies legume ini diharapkan akan menambah variasi jenis
pakan ternak bermutu yang ada di Sulawesi Tenggara. Apabila memungkinkan,
Sulawesi Tenggara dapat dijadikan pusat penyediaan benih legume pakan ternak.
Dijelaskan juga bahwa pakan untuk sapi tidak saja dapat dipenuhi dari hijauan,
akan tetapi dapat juga dapat dipenuhi dari limbah pertanian, seperti
jerami padi, brangkasan tanaman kacang tanah maupun kedelai. Limbah
tanaman kacang-kacangan merupakan pakan ternak potensial yang bermutu tinggi,
terutama dari aspek kandungan proteinnya yang cukup tinggi. Di Jawa, jenis
pakan ini telah banyak dimanfaatkan oleh para peternak. BPTP Sulawesi Tenggara
dalam waktu dekat akan melakukan pengkajian dan pengembangan pemanfaatan limbah
pertanian untuk pakan ternak, tandas Dr. Didik Harnomo.
Kaitannnya dengan potensi
pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak, Kepala BPTP Sultra menjelaskan
bahwa dengan luas lahan sawah sekitar 93 ribu hektar akan dihasilkan jerami
yang cukup banyak sehingga cukup besar pula potensinya untuk digunakan sebagai
pakan ternak bermutu (dengan proses fermentasi). Sayangnya, potensi tersebut
belum dapat diperoleh secara optimal di Sulawesi Tenggara. Dalam rangka
mendukung program pemerintah daerah dalam pengembangan ternak sapi khususnya
dalam aspek penyediaan pakan ternak bermutu, BPTP Sulawesi Tenggara dalam waktu
dekat akan melakukan gelar teknologi integrasi tanaman-ternak di beberapa
kabupaten. Kepala BPTP Sultra Dr. Didik Harnowo mengharapkan agar kegiatan
tersebut dapat menarik minat petani-peternak untuk menerapkannya. Dengan
demikian diharapkan adanya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani
peternak di wilayah ini. Peneliti dari Australia Dr. Simon Quigley saat
mengunjungi pertanaman legumes di Ladongi Kabupaten Kolaka menyatakan bahwa
legume hijauan pakan yang diuji adaptasi di Sulawesi Tenggara juga diuji
adaptasi di NTB. Dijelaskan bahwa beberapa species legume tersebut menunjukkan
pertumbuhan yang cukup cepat sehinng memiliki potensi menghasilkan biomas yang
cukup tinggi. Legume yang dinilai unggul (terpilih) selanjutnya dapat
dikembangkan di lahan sawah bero setelah padi sehingga sangat bermanfaat untuk
hijauan pakan ternak sapi pada musim kemarau
Peningkatan produksi ternak khususnya ternak ruminansia akan
berhasil dengan baik jika ketersediaan pakan hijauan sebagai sumber pakan dapat
dipenuhi secara kualitas dan kuantitas dan tersedia secara kontinyu. Hijauan
makanan ternak bersumber dari padang rumput alam atau dengan melakukan
penanaman hijauan makanan ternak. Jenis dan kualitas hijauan dipengaruhi oleh
kondisi ekologi dan iklim di suatu wilayah. Ketersediaan hijauan pakan ternak
di Indonesia tidak tersedia sepanjang tahun, dan hal ini merupakan suatu
kendala yang perlu dipecahkan.Ternak ruminansia sebagai penghasil daging dan
susu dengan pakan utamanya hijauan memiliki kendala dalam penyediaannya
disebabkan oleh semakin berkurangnya lahan/padang penggembalaan dan
ketersediaan pakan hijauan sangat dipengaruhi oleh musim.
Musim kemarau jumlahnya kurang dan sebaliknya pada musim
hujan melimpah sehingga ketersediaan tidak kontinyu sepanjang tahun. Kecukupan
pakan bagi ternak yang dipelihara merupakan tantangan yang cukup serius dalam
pengembangan peternakan di Indonesia. Indikasi kekurangan pasokan pakan dan
nutrisi ialah masih rendahnya tingkat produksi ternak yang dihasilkan.
Pengembangan peternakan sangat terkait dengan pengembangan suatu wilayah. Sulawesi Selatan sebagai salah satu propinsi di Indonesia memiliki potensi cukup besar dalam pengembangan peternakan. Sulawesi Selatan pernah dikenal sebagai lumbung ternak, dengan kemampuan memasok ternak ke daerah lain dalam rangka pengadaan ternak nasional. Sebagai illustrasi, pada tahun 1990 jumlah pengeluaran ternak sapi dan kerbau adalah 65 804 ekor dan 17 443 ekor (Katoe 1991) dan angka tersebut masih jauh lebih tinggi dibanding jumlah pengeluaraan ternak pada tahun 2003 yaitu sapi 6 449 ekor dan kerbau 143 ekor.
Pengembangan peternakan sangat terkait dengan pengembangan suatu wilayah. Sulawesi Selatan sebagai salah satu propinsi di Indonesia memiliki potensi cukup besar dalam pengembangan peternakan. Sulawesi Selatan pernah dikenal sebagai lumbung ternak, dengan kemampuan memasok ternak ke daerah lain dalam rangka pengadaan ternak nasional. Sebagai illustrasi, pada tahun 1990 jumlah pengeluaran ternak sapi dan kerbau adalah 65 804 ekor dan 17 443 ekor (Katoe 1991) dan angka tersebut masih jauh lebih tinggi dibanding jumlah pengeluaraan ternak pada tahun 2003 yaitu sapi 6 449 ekor dan kerbau 143 ekor.
Saat ini permintaan ternak kurang mampu terpenuhi yang
kemungkinan disebabkan oleh a). rendahnya kemampuan produksi ternak bibit, baik
dari segi kualitas maupun kuantitas akibat terjadinya perkawinan kedalam yang
berlangsung cukup lama, b). semakin menurunnya produktivitas ternak yang
ditunjukkan dengan menurunnya berat karkas, dan c). terbatasnya kuantitas dan
kualitas pakan (Ella 2002). Pakan untuk ternak ruminansia selama ini diperoleh
dan bersumber dari padang penggembalaan. Padang penggembalaan menyediakan
hijauan berupa rumput-rumputan dan leguminosa sebagai sumber pakan ternak
ruminansia. Beberapa tahun terakhir terdapat kecenderungan menurunnya
produktivitas padang penggembalaan sebagai penyedia pakan akibat terjadinya
perubahan fungsi lahan. Lahan yang selama ini sebagai padang penggembalaan
dikonversi menjadi lahan pertanian untuk persawahan, perkebunan dan pemukiman.
Akibatnya padang penggembalaan sebagai basis ekologi untuk ternak khususnya
ternak ruminansia semakin berkurang. .
POTENSI PRODUKSI HIJAUAN PADANG PENGGEMBALAAN
POTENSI PRODUKSI HIJAUAN PADANG PENGGEMBALAAN
Berdasarkan data statistik dalam
kurun waktu sepuluh tahun terakhir (1996 2005) menunjukkan bahwa, di Sulawesi
Selatan telah mengalami penurunan jumlah luas areal padang penggembalaan. Tahun
1996 luas areal padang penggembalaan di Sulawesi Selatan adalah 236.434 ha, dan
pada tahun 2005 jumlah tersebut mengalami berkurang menjadi 192.008 ha atau
menurun sebesar 23,13%. Dengan demikian potensi padang penggembalaan sebagai penyedia
hijauan pakan juga mengalami penurunan.
Kondisi tersebut di atas dipengaruhi oleh menurunnya jumlah areal padang panggembalaan di masing-masing kabupaten di Sulawesi Selatan. Hal ini terjadi sebagai akibat terjadi perubahan fungsi lahan yang selama sebagai padang penggembalaan berubah menjadi lahan perkebunan, persawahan ataupun untuk pemukiman. Luas areal padang penggembalaan di Sulawesi Selatan sebesar 190,006 ha. Dari jumlah tersebut lebih dari 60% luas areal padang penggembalaan di Sulawesi Selatan berada di empat kabupaten yaitu Luwu, Luwu Utara, Wajo dan Tana Toraja atau masing-masing 13,85%, 17,59%, 14,39%, dan 15,08% dari total luas padang penggembalaan di Sulawesi Selatan. Dengan mengetahui luas areal padang penggembalaan masing-masing kabupaten di Sulawesi Selatan maka dilakukan perhitungan potensi produksi hijauan yang dihasilkan. Potensi produksi hijauan pakan di padang penggembalaan dihitung dengan berdasarkan asumsi dan pendekatan dari hasil studi dan penelitian yang telah dilakukan.
Kondisi tersebut di atas dipengaruhi oleh menurunnya jumlah areal padang panggembalaan di masing-masing kabupaten di Sulawesi Selatan. Hal ini terjadi sebagai akibat terjadi perubahan fungsi lahan yang selama sebagai padang penggembalaan berubah menjadi lahan perkebunan, persawahan ataupun untuk pemukiman. Luas areal padang penggembalaan di Sulawesi Selatan sebesar 190,006 ha. Dari jumlah tersebut lebih dari 60% luas areal padang penggembalaan di Sulawesi Selatan berada di empat kabupaten yaitu Luwu, Luwu Utara, Wajo dan Tana Toraja atau masing-masing 13,85%, 17,59%, 14,39%, dan 15,08% dari total luas padang penggembalaan di Sulawesi Selatan. Dengan mengetahui luas areal padang penggembalaan masing-masing kabupaten di Sulawesi Selatan maka dilakukan perhitungan potensi produksi hijauan yang dihasilkan. Potensi produksi hijauan pakan di padang penggembalaan dihitung dengan berdasarkan asumsi dan pendekatan dari hasil studi dan penelitian yang telah dilakukan.
Produksi hijauan yang bersumber
dari padang penggembalaan dihitung berdasarkan luas areal padang penggembalaan
masing-masing kabupaten di Sulawesi Selatan berdasarkan data statistik Tahun
2005. Estimasi produksi hijauan di padang penggembalaan dihitung berdasarkan
asumsi bahwa satu hektar (1 ha) padang penggembalaan menghasilkan hijauan pakan
sebesar 25.550 kg hijauan atau 25,55 ton hijauan per tahun (Ditjen Peternakan,
1985). Dengan demikian produksi hijauan dari padang penggembalaan dapat
diestimasi dan dihitung. Berdasarkan hasil perhitungan maka potensi produksi
hijuan dari padang penggembalaan di Sulawesi Selatan dalam kurun waktu
1996-2005, bahwa jumlah produksi hijauan padang penggembalaan di Sulawesi
Selatan pada tahun 2005 sebesar 4.905.804 ton, dan lebih rendah jika
dibandingkan jumlah produksi pada tahun 2000 yaitu 5.381.469 ton, dan tahun
1996 sebesar 6.040.889 ton. Dengan demikian jumlah produksi hijauan yang
semakin menurun dari tahun ke tahun sehingga potensi padang penggembalaan
sebagai penyedia hijauan mengalami penurunan dalam kemampuannya sebagai sumber
pakan khususnya ternak ruminansia. Jumlah produksi hijuan padang penggembalaan
di Sulawesi Selatan sebanyak 4,905,804 ton, dan beberapa kabupaten menunjukkan
produksi yang tinggi disbanding kabupaten lainnya.
Klasifikasi wilayah produksi hijauan dapat diketahui berdasarkan perhitungan indeks konsentrasi produksi pakan. Indeks konsentrasi produksi pakan memberikan gambaran tentang konsentrasi produksi masing-masing hijauan padang penggembalaan yang dihitung dengan cara produksi hijauan padang penggembalaan masing-masing kabupaten di bagi dengan rata-rata produksi hijauan padang penggembalaan propinsi. Wilayah kabupaten dengan IKPP ≥ 1.0 merupakan wilayah yang memiliki keunggulan produksi dengan kategori produksi tinggi hijauan padang penggembalaan dibanding wilayah/kabupaten lainnya. Berdasarkan hasil perhitungan indeks konsentrasi pakan, maka beberapa wilayah kabupaten dalam kategori produksi tinggi untuk produksi hijauan padang penggembalaan yaitu Sidrap (356,652 ton), Selayar (313,345 ton), Enrekang (276,604 ton), Luwu (672,374 ton), Luwu Utara (853,779 ton), Luwu Timur (328,752 ton), Wajo (698,665 ton) dan Tana Toraja (732,263 ton).
Klasifikasi wilayah produksi hijauan dapat diketahui berdasarkan perhitungan indeks konsentrasi produksi pakan. Indeks konsentrasi produksi pakan memberikan gambaran tentang konsentrasi produksi masing-masing hijauan padang penggembalaan yang dihitung dengan cara produksi hijauan padang penggembalaan masing-masing kabupaten di bagi dengan rata-rata produksi hijauan padang penggembalaan propinsi. Wilayah kabupaten dengan IKPP ≥ 1.0 merupakan wilayah yang memiliki keunggulan produksi dengan kategori produksi tinggi hijauan padang penggembalaan dibanding wilayah/kabupaten lainnya. Berdasarkan hasil perhitungan indeks konsentrasi pakan, maka beberapa wilayah kabupaten dalam kategori produksi tinggi untuk produksi hijauan padang penggembalaan yaitu Sidrap (356,652 ton), Selayar (313,345 ton), Enrekang (276,604 ton), Luwu (672,374 ton), Luwu Utara (853,779 ton), Luwu Timur (328,752 ton), Wajo (698,665 ton) dan Tana Toraja (732,263 ton).
DAYA DUKUNG HIJAUAN PADANG PENGGEMBALAAN
Daya dukung hijauan padang
penggembalaan adalah kemampuan suatu wilayah menghasilkan pakan berupa hijauan
dari padang penggembalaan tanpa melalui pengolahan, dan dapat menyediakan pakan
untuk menampung sejumlah populasi ternak ruminansia. Dalam menghitung daya
dukung limbah tanaman pangan digunakan asumsi kebutuhan pakan ternak
ruminansia. Asumsi yang digunakan yaitu bahwa satu satuan ternak (1 ST) ternak
ruminansia rata-rata membutuhkan hijauan adalah 12.775 kg/tahun atau 12,77
ton/tahun.
Berdasarkan asumsi di atas maka dilakukan perhitungan daya dukung produksi hijauan padang penggembalaan yaitu jumlah produksi hijauan padang penggembalaan dibagi dengan kebutuhan satu satuan ternak selama setahun. Dengan jumlah produksi hijauan padang penggembalaan di Sulawesi Selatan sebesar 4,905,804 ton (Tabel 1), setelah dilakukan perhitungan daya dukung pakan maka produksi hijauan tersebut dapat menampung atau menyediakan pakan hijauan untuk ternak ruminansia sebanyak 384,016 ST. Jumlah daya dukung sebesar 384.016 ST jauh lebih rendah dibandingkan jumlah populasi ternak ruminansia di Sulawesi Selatan sebesar 576.701 ST. Fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa potensi padang penggembalaan di Sulawesi Selatan tidak dapat sepenuhnya menyediakan hijauan untuk ternak ruminansia.
Berdasarkan asumsi di atas maka dilakukan perhitungan daya dukung produksi hijauan padang penggembalaan yaitu jumlah produksi hijauan padang penggembalaan dibagi dengan kebutuhan satu satuan ternak selama setahun. Dengan jumlah produksi hijauan padang penggembalaan di Sulawesi Selatan sebesar 4,905,804 ton (Tabel 1), setelah dilakukan perhitungan daya dukung pakan maka produksi hijauan tersebut dapat menampung atau menyediakan pakan hijauan untuk ternak ruminansia sebanyak 384,016 ST. Jumlah daya dukung sebesar 384.016 ST jauh lebih rendah dibandingkan jumlah populasi ternak ruminansia di Sulawesi Selatan sebesar 576.701 ST. Fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa potensi padang penggembalaan di Sulawesi Selatan tidak dapat sepenuhnya menyediakan hijauan untuk ternak ruminansia.
PEMBAHASAN
Rumput-rumputan dan berbagai bentuk
padang rumput selain mempunyai peran sebagai sumber pakan/nutrisi untuk
mendukung kehidupan ternak ruminansia juga merupakan faktor penyebab perubahan
budaya pertanian diberbagai belahan dunia. Disampaikan bahwa salah satu pusat
perkembangan budaya pemeliharaan sapi pada berbagai wilayah dunia, termasuk
Eropa, adalah kawasan padang rumput alam yang disebut stepa Eroasia (Eurasia
steppes). Padang rumput alam ini sangat luas, terbentang antara Eropa Timur
dan Ukraina di Barat serta Mongolia dan Mancuria di Timur. Pemeliharaan sapi
itu bertumpu pada ketersediaan rerumputan pada padang rumput alam yang dapat
diaksesnya sebagai sumber pakan yaitu stepa Eroasia. Karena stepa Eroasia
secara periodik mengalami kekeringan yang berakibat pada berkurangnya produksi
rumput maka suku bangsa Kurga harus melakukan ekspansi untuk mencukupi pakan
untuk sapi mereka yang jumlahnya menjadi semakin banyak.
Gambar
2.1. Peta daerah bentangan stepa Eroasia dari Hongaria disebelah Barat hingga
Manchuria disebelah Timur serta suasana stepa tersebut yang berupa bentangan
padang rumput luas
Padang rumput
Kenyataan menunjukkan bahwa rerumputan adalah komponen
vegetasi yang menutupi lebih dari setengah permukaan lahan didaerah tropis dan
sub-tropis. Adapun padang rumput (dalam bahasa Inggris disebut grassland)
adalah tipikal dataran terbuka atau lahan yang ditumbuhi rumput-rumputan tinggi
atau rendah disertai tanaman-tanaman semak dengan tidak ada atau ada sedikit
tanaman perdu serta pohon-pohonan. Biasanya, perdu dan/atau pohon-pohonan itu
berada disepanjang daerah aliran air hujan atau tempat penampungan air hujan.
Apabila jenis rumput yang tumbuh pada padang rumput bersifat endemik atau asli
setempat maka rumput itu disebut dengan rumput alam. Jenis padang rumput alam
ini masih dapat dijumpai di semua benua: Afrika, Amerika Selatan, Amerika
Utara, Eropa, Asia dan Australia. Disamping itu, terdapat pula padang rumput
buatan yang sengaja dibuat dengan menanam jenis-jenis hijauan pakan ternak
hasil seleksi atau pemuliaan tanaman yang bermutu.
Terminologi
Pada tahun 1966, Pratt, Greenway dan Gwynne mengusulkan
penggunaan luas kanopi (canopy cover) dari pohon-pohonan dan tanaman semak
serta perdu sebagai kriteria padang rumput. Usulan itu mendefinisikan padang
rumput sebagai area yang didominasi rumput-rumputan namun terdapat pula
pohon-pohonan, tanaman perdu serta semak secara menyebar atau mengelompok
dengan luas kanopi tidak lebih dari dua persen dari total area. Apabila kanopi
dimaksud luasnya berada diantara dua sampai dua puluh persen maka area tersebut
didefinisikan sebagai padang rumput bertanaman kayu-kayuan dan semak (bushed
and wooded grasslands). Definisi ini dapat diterima oleh kalangan ahli
padang rumput seperti disampaikan dalam pustaka bidang hijauan pakan ternak
yang disusun oleh misalnya Mannetje (1978) serta Crowder dan Chheda (1982).
Namun, antar lokasi atau ekologi dijumpai hamparan padang rumput dengan
komposisi antara rumput, semak dan pepohonan yang beragam hingga memerlukan
terminologi tertentu untuk menyebutnya seperti dibawah ini.
-
Sabana. Kawasan yang disebut sabana adalah kawasan dengan vegetasi
rumput-rumputan serta tanaman berkayu. Dikenal pula sebagai ekosistem
tanam-tanaman berkayu. Ruang antar pohon cukup luas karena kanopi antar pohon
tidak saling menutup. Ruang antar kanopi yang terbuka itu memungkinkan sinar
matahari mencapai permukaan lahan untuk menunjang kehidupan rerumputan.
Seringkali sabana dijumpai sebagai bentuk transisi antara ekosistem hutan dan
padang pasir. Istilah sabana (dalam bahasa Inggris disebut savana)
pertama kali digunakan pada tahun 1535 oleh Oviedo dengan mengacu pada suatu
kata dari bahasa Spanyol zavana yang dipakai untuk menggambarkan area terbuka
dengan lembah-lembah yang ditumbuhi rerumputan sperti llanos yang ada di
kawasan Venezuela
-
Stepa. Pada awalnya, istilah stepa (dalam bahasa Inggris disebut steppe)
digunakan untuk menyebut kawasan di Rusia dan Asia yang ditumbuhi vegetasi yang
tidak membutuhkan banyak air untuk hidupnya. Stepa secara fisik mempunyai
persamaan dengan Prairie dibenua Amerika. Perbedaanya adalah bahwa prairie
didominasi oleh jenis-jenis rumput yang tumbuh tinggi sedangkan rumput pada
kawasan stepa adalah jenis-jenis yang tumbuh pendek.
Selain definisi padang rumput seperti yang disampaikan oleh
Pratt dkk (1966) diatas, terdapat definisi lain yang disampaikan oleh Mannetje
(1978). Penulis yang disebutkan terakhir itu mendefinisikan padang rumput sebagai
suatu ekosistem sumber pakan hijauan untuk ternak ruminansia. Kata ekosistem
dalam pengertian ini mengandung arti bahwa manusia berkepentingan dengan
seluruh komponen-komponen sistem padang rumput seperti tanah, tanaman,
faktor-faktor iklim pendukungnya serta ruminansia yang pakannya bergantung pada
padang rumput itu secara langsung atau tidak langsung. Ketergantungan
ruminansia terhadap padang rumput terjadi secara langsung pada sistem ekstensip
dimana ternak merumput (grazing) pada padang rumput. Sedangkan pada
sistem intensif dimana pemberian pakan dilakukan secara cut and carry maka
ternak tidak berinteraksi langsung dengan padang rumputnya.
Pertanian Padang Rumput
Ternyata manusia memanfaatkan kekayaan ekosistem itu untuk
peningkatan kesejahteraannya. Seperti telah disampaikan pada sub-bab 2.1. bahwa
ribuan tahun sebelum masehi stepa Ero-Asia telah dimanfaatkan sebagai basis
kegiatan pemeliharaan sapi. Ternak ini menjadi ukuran kesejahteraan masyarakat
suku bangsa Kurga. Disamping itu, kebutuhan akan padang rumput untuk memelihara
sapi yang menjadi semakin banyak telah mendorong suku bangsa Kurga untuk
melakukan ekspansi guna memperluas penguasaan teritorialnya. Setelah sapi dan
budaya pemanfaatan padang rumput meluas hingga ke Eropa maka terjadilah periode
intensifikasi pemanfaatan padang rumput. Tercatat dalam sejarah budaya
pemeliharaan sapi bahwa pada tahun 1800-an, bangsa Irlandia dan Skotlandia
melakukan investasi demi mengintensifkan pemanfaatan padang rumput yang mereka
miliki sebagai sarana memelihara sapi untuk memproduksi daging. Konsumen utama
daging itu adalah orang-orang Inggris yang dikenal sebagai konsumen paling
fanatik di Eropa. Kemudian, pada tahun 1870-an para imigran Inggris tercatat
mulai memanfaatkan padang rumput yang ada di benua Amerika untuk memelihara
sapi dan menghasilkan daging. Dari waktu ke waktu, kegiatan itu semakin
berkembang sehingga para pengusaha Bank di Amerika, investor dari
Edinburg-Scotland dan para spekulator lokal melakukan investasi secara
besar-besaran. Padang rumput dipandang sebagai tambang emas karena dengan
investasi yang dilakukan itu dapat diproduksi daging untuk memasok kebutuhan
masyarakat Eropa, terutama Inggris.
Adanya keuntungan yang diperoleh dari memanfaatkan padang
rumput untuk memelihara sapi dan menghasilkan daging seperti disampaikan diatas
telah mendorong terbentuknya suatu bentuk pertanian padang rumput (grassland
agriculture). Pertanian ini bertumpu pada tata-laksana pemanfaatan lahan
untuk budidaya rumput-rumputan dan leguminosa dalam rangka usaha produksi
ternak ruminansia. Usahatani padang rumput (grassland farming) kemudian
berkembang sebagai salah satu bentuk kegiatan manusia. Tujuan kegiatan
pertanian itu adalah memanfaatan padang rumput untuk menyediakan pakan murah
dalam bentuk rumput-rumputan, hoi atau silase. Usaha itu tidaklah mudah karena
ternyata sistem produksi padang rumput adalah cukup kompleks apalagi, setelah
manusia berkeinginan memanfaatkannya secara lebih efisien. Berbagai persoalan
yang berkembang dalam tatalaksana pemanfaatan padang rumput kemudian
membutuhkan penanganan secara ilmiah. Bagaimana mendapatkan produksi hijauan
yang bermutu dalam jumlah banyak dan bagaimana memanfaatkannya secara optimal
merupakan contoh dari persoalan padang rumput yang memerlukan jawaban empiris.
Situasi itu telah mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan tentang padang
rumput (science of grassland).
Pada masa sekarang, pertanian padang rumput tidak hanya
membudidayakan rumput namun juga leguminosa. Integrasi kedua jenis tanaman itu
dalam pertanian padang rumput memberikan berbagai manfaat untuk petani serta
masyarakat luas. Manfaat itu meliputi hal-hal seperti terlindunginya tanah dari
erosi oleh air dan/atau angin, tersedianya pakan bermutu yang murah untuk
ternak ruminansia dan juga satwa liar, tersedianya habitat yang baik untuk
satwa liar (seperti halnya pada taman-taman safari) serta terjaganya kesuburan
lahan karena bahan organik lahan mengalami penambahan secara lebih
berkelanjutan.
Perkembangan manajemen padang rumput (grassland) sebagai
basis produksi sapi lebih lanjut melahirkan terminologi lain yaitu pastura (pasture).
Adapun yang dimaksud dengan terminologi ini adalah lahan pada suatu unit
usahatani atau ranci (ranch) yang ditumbuhi vegetasi untuk dirumput
ternak ruminansia. Pada tahun 1990-an dimana teknologi manajemen pastura
semakin berkembang maka batas pastura antar tiap unit usahatani semakin jelas
dengan adanya pagar listrik (electronic fence). Pastura semakin
berkembang dinegara-negara yang maju peternakannya seperti Amerika, Australia
dan negara-negara di Eropa. Melalui manajemen pastura yang bertujuan
mendapatkan produksi ternak tinggi maka padang rumput alam diperbaiki dengan
melakukan introduksi jenis-jenis hijauan yang unggul dari segi mutu maupun
kuantitas produksinya disertai tata-laksana pengelolaan lahan dan pengairan.
Riset dan Organisasi Pengembangan Padang Rumput
Riset dan Organisasi Pengembangan Padang Rumput
Padang rumput telah lama dirasakan sebagai bagian kehidupan
yang memberikan berbagai manfaat untuk pengelolanya serta masyarakat luas.
Walaupun demikian peningkatan pemanfaatannya dirasa perlu terus-menerus
dikembangkan untuk mendapatkan efisiensi sistem produksi ternak ruminansia yang
lebih baik. Diperkirakan pada abad enam belas peternak di Inggris mulai
memperbaiki padang rumput alam dengan rumput-rumput hasil seleksi. Hal ini
diikuti dengan mulai diterapkannya teknik pembuatan padang rumput campuran
antara rumput dan leguminosa pada abad tujuh belas. Seratus tahun kemudian,
pola ley farming yaitu penggunaan lahan secara bergantian untuk produksi
tanaman pangan dan rumput diterapkan. Pemupukan padang campuran rumput dan
leguminosa mulai dilakukan pada sekitar tahun 1880-an.
Hijauan Pakan Ternak
Sejalan dengan kegiatan manusia untuk mendapatkan manfaat
sebesar-besarnya dari ternak ruminansia, padang rumput alam diperbaiki mutunya
dengan melakukan introduksi jenis-jenis tanaman unggul sebagai hijauan pakan
ternak. Pastura, pada umumnya dikembangkan dengan membudidayakan jenis-jenis
rumput dan leguminosa pakan ternak yang unggul dari segi kualitas dan
produksinya. Hal itu dapat dilihat secara nyata pada peternakan ruminansia
berbasis pastura seperti yang ada di Australia, Amerika atau Eropa. Untuk itu,
lahan sepenuhnya digunakan untuk budidaya jenis-jenis rumput dan/atau
leguminosa pakan ternak hasil seleksi yang mempunyai manfaat secara spesifik
untuk ruminansia.
Hijauan pakan ternak pada kawasan pertanian campuran lebih
beragam daripada di kawasan pastura. Beragam jenis hijauan itu, oleh masyarakat
petani-ternak di pedesaan di Jawa disebut dengan satu kata yaitu rumput.
Penyebutan beragam jenis vegetasi dengan istilah rumput juga dilakukan
ditingkat akademisi dan peternak negara-negara maju. Sebagai contoh, istilah
padang rumput yang dalam bahasa inggris disebut grassland sebenarnya tidak menunjukkan
suatu area yang hanya ditumbuhi rumput-rumputan saja. Kenyataan menunjukkan
bahwa padang rumput juga ditumbuhi beragam jenis vegetasi termasuk rumput,
leguminosa, tanaman semak maupun pohon-pohonan. Untuk tidak terjebak dengan
persoalan semantik, jenis-jenis hijauan yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak
ruminansia atau hijauan pakan ternak pada kawasan yang berbasis pada pastura,
padang rumput atau pada kawasan dengan pemberian pakan secara zero grazing
dapat dikelompokkan atas rumput, leguminosa, daun-daunan dan limbah pertanian.
Sebelum membicarakan lebih lanjut tentang masing-masing
jenis hijauan pakan ternak, terlebih dahulu akan disampaikan berbagai
terminologi dalam pustaka-pustaka asing yang seringkali membingungkan
pembacanya. Terminologi tersebut hadir sebagai hasil aktivitas manusia
memanfaatkan padang rumput alam hingga menjadi pastura yang difasilitasi oleh
riset dan teknologi. Adapun terminologi dimaksud yaitu:
-
Forage. Terminologi ini menunjuk pada bagian-bagian tanaman yang dapat
dimakan oleh ternak (edible parts of plants) dengan cara dirumput (grazing)
atau dipanen sebagai pakan (zero grazing). Namun, biji dari tanaman
dimaksud tidak termasuk dalam pengertian forage.
-
Herbage. Adapun yang dimaksud dengan herbage adalah biomasa tanam-tanaman
semak yang berada diatas tanah tempat tumbuhnya serta akar yang dapat dimakan
ternak dan umbi. Biji dari tanaman dimaksud tidak termasuk dalam pengertian
herbage.
-
Browse. Adapun yang dimaksud dengan terminologi ini adalah daun dan
tangkai daun tanam-tanaman perdu, woody vines, pohon, kaktus serta vegetasi
bukan semak yang dapat dikonsumsi oleh ternak.
-
Fodder. Terminologi ini menunjukkan jenis-jenis rumput kasar seperti
jagung serta sorghum yang dipanen saat daunnya masih hijau (segar) bersama-sama
bijinya dan mengalami perlayuan dilapangan sebelum semuanya diberikan kepada
ternak.
-
Residue. Adapun yang dimaksud dengan residue adalah forage yang tinggal
dilahan pertanian sebagai konsekuensi dari panen tanaman.
-
Silage. Adapun yang dimaksud dengan silage adalah forage yang diawetkan
dalam keadaan segar. Pengawetan dilakukan pada kondisi an-aerob atau kedap
udara.
-
Hay. Adapun yang dimaksud dengan hay adalah rumput atau jenis tanaman
lain yang dipanen kemudian dikeringkan dan digunakan sebagai pakan ternak.
-
Haylage. Adapun yang dimaksud dengan haylage adalah produk dari
pembuatan silase dengan kadar air sekitar 45%.
Selanjutnya,
definisi dari rumput dan leguminosa disampaikan secara lebih ekstensif seperti
dapat diikuti dari uraian pada sub-bab dibawah ini.
Rumput
Rumput
Rumput tergolong dalam Famili Gramineae yaitu tanaman
monokotiledon (bijinya terdiri atas satu kotiledon atau disebut juga berkeping
satu). Struktur rumput relatif sederhana, terdiri dari akar yang bagian atasnya
silindris dan langsung berhubungan dengan batang. Batangnya berbuku, helai
daunnya keluar dari pelepah daun (sheath) pada buku batang. Malai rumput
terdiri atas beberapa bunga yang nantinya menghasilkan biji. Hampir semua
rumput adalah tanaman herba (tidak berkayu) sedangkan ukuran, bentuk dan pola
tumbuhnya sangat beragam.
Asal usul rumput sebagai suatu jenis tanaman spesifik belum
diketahui dengan pasti. Sejarah mencatat bahwa rumput sudah menjadi vegetasi di
dunia sejak 20 juta tahun yang lampau. Penyebaran rumput pada seluruh benua
mengalami akselerasi pada jaman es Pleistocene sekitar satu juta tahun yang
lalu. Penyebarannya pada beragam lingkungan serta persilangan-persilangan yang
terjadi secara alamiah menyebabkan rumput-rumputan semakin beragam.
Terdapat
lebih dari 600 genus dan lebih dari 10.000 species rumput didunia ini namun
hanya sekitar puluhan sampai ratusan species yang dibudidayakan manusia.
Diantara berbagai species itu, yang paling populer di Indonesia adalah rumput
gajah (Pennisetum purpureum). Rumput ini memang paling menonjol
dipromosikan untuk dibudidayakan di kawasan pertanian campuran dimana lahan
yang dapat dialokasikan untuk menanam rumput relatif sempit. Pada satu unit
lahan maka rumput gajah memberikan biomasa yang besar dibandingkan jenis rumput
lain. Hal itu dikarenakan rumput itu tumbuh tegak dan tinggi, mencapai 1,5
meter, sehingga jumlah biomasa per unit tanamannya lebih tinggi daripada
jenis-jenis rumput yang tumbuh pendek. Pada Gambar 2.2. dapat dilihat bahwa
rumput gajah dapat melebihi tinggi manusia jika dibiarkan lama tidak dipotong
atau dipanen.
Gambar
2.2. Tanaman rumput gajah (Pennisetum purpureum) yang populer
dibudidayakan sebagai pakan hijauan untuk ruminansia di ndonesia
Sebagai Bahan Pangan
Kehadiran rumput didunia tidak hanya bermanfaat untuk
kehidupan ruminansia. Interaksi rumput dengan manusia secara langsung telah
menjadikan rumput sebagai bagian dari budaya pangan manusia. Dahulu kala,
diperkirakan sebelum 13.000 tahun yang silam, manusia masih hidup secara nomadik.
Migrasi yang dilakukan manusia dari satu lokasi ke lokasi lain juga disertai
dengan proses mengumpulkan biji dari beragam jenis tanaman untuk dibawa sebagai
persediaan pangan. Sebagian besar biji tanaman yang dikumpulkan itu berasal
dari rumput-rumputan (Crowder dan Chheda, 1992). Beberapa jenis tanaman itu
mengalami perkawinan silang pada lingkungan barunya sehingga menambah keragaman
jenis tanaman penghasil pangan. Dalam perkembangan budaya manusia, sekitar
11.000 tahun yang silam, seleksi mulai dilakukan terhadap jenis-jenis tanaman
yang paling disukai manusia untuk dikembangkan demi mengamankan ketersediaan
pangan mereka.
Budidaya jenis-jenis rumput sebagai tanaman pangan mulanya
dilakukan dengan pola berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain sehingga
budidaya dapat selalu dilakukan pada lahan yang subur (slash and burn
agriculture). Hal ini, kecuali dapat menjamin produksi butiran untuk pangan
juga memfasilitasi penyebaran dan kehadiran jenis-jenis rumput lain. Karena,
setelah biji tanaman pangan dipanen untuk pangan kemudian lahan tempat
tumbuhnya ditinggalkan untuk berpindah ke lahan lain maka lahan yang
ditinggalkan secara alamiah akan ditumbuhi rumput-rumputan semusim, diikuti
rumput-rumputan tahunan dan kemudian tanaman-tanaman berkayu. Rumput-rumputan
ini menjadi sumber pakan alamiah untuk ruminansia.
Sebagai Bahan Pakan
Padang rumput alam di Indonesia khususnya Sulawesi tenggara secara
tradisional telah menjadi sumber pakan ruminansia yang merumput di padang itu.
Investor yang berupaya mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan padang rumput
alam untuk memproduksi daging atau susu melakukan investasi memperbaiki
produktivitas padang rumput alam. Hal ini difasilitasi pula oleh riset yang
memungkinkan efisiensi tatalaksana pemanfaatan padang rumput serta seleksi
jenis-jenis rumput yang sesuai untuk dibudidayakan dalam rangka peningkatan
produktivitas.
Untuk tujuan memperbaiki padang rumput alam, membangun
pastura ataupun untuk keperluan pemuliaan hijauan pakan ternak terdapat
karakteristik yang diharapkan dari jenis-jenis rumput ataupun leguminosa yang
akan diseleksi. Karakteristik harapan itu dapat bersifat umum atau spesifik.
Adapun karakter harapan yang spesifik itu bergantung pada situasi kondisi
tertentu dimana rumput atau leguminosa terseleksi akan dimanfaatkan. Sedangkan
karakter yang secara umum diharapkan dari rumput atau leguminosa adalah mampu
berproduksi tinggi dengan kualitas baik, persisten, mampu ber-asosiasi dengan
jenis-jenis hijauan lain serta mudah untuk dikembangbiakkan. Karakteristik
tersebut pada akhirnya harus dapat memberikan produksi ternak yang tinggi.
Adapun diskripsi dari masing-masing karakter itu adalah:
1.
Kemampuan Produksi dan Kualitas Tinggi. Artinya, bahwa hijauan mampu
menghasilkan bahan kering yang tinggi, toleran terhadap cekaman air, temperatur
tinggi ataupun rendah, mempunyai tingkat kecernakan dan palatabilitas tinggi
sehingga dapat dikonsumsi ternak dalam jumlah tinggi pula.
2.
Persisten. Berbeda dengan tanaman pangan maka hijauan pakan ternak, rumput atau
leguminosa, diharapkan untuk lebih permanen pada pastura. Untuk itu maka mereka
diharapkan untuk tahan terhadap pemotongan normal ataupun penggembalaan, mampu
menghasilkan biji, tahan kekeringan, temperatur ekstrim dan api serta tahan
terhadap penyakit dan serangan hama
3.
Mampu berasosiasi dengan species lain. Berbagai pastura seringkali dibangun
dengan mencampur rumput dan leguminosa dengan tujuan menyediakan hijauan
berkualitas tinggi secara kontinyu, menyediakan ransum seimbang dalam hal
protein, energi dan mineral serta menekan kebutuhan pupuk nitrogen dengan
memanfaatkan transfer nitrogen dari leguminosa pada rerumputan. Terkait dengan
hal ini, beberapa faktor yang relevan dengan kemampuan ber-asosiasi yang perlu
diperhatikan adalah sifat tumbuh tanaman (membelit, merayap atau vertikal),
kemampuan berkompetisi atas unsur hara ataupun sinar matahari, mempunyai
palatabilitas baik dan mempunyai respon yang positip terhadap pemotongan
4.
Mudah dikembangbiakkan. Meskipun diketahui berbagai jenis rerumputan ataupun
leguminosa dapat dikembangbiakkan dengan stek ataupun sobekan rumpun (secara
vegetatip) tetapi kemampuannya untuk menghasilkan biji perlu mendapatkan
perhatian. Hal tersebut untuk memastikan adanya regenerasi tanaman seandainya
terjadi keadaan alamiah yang tidak diharapkan seperti musim kering yang panjang
dan memungkinkan pembuatan padang rumput baru melalui cara generatip. Apabila
kemampuan hijauan pakan ternak menghasilkan biji adalah buruk maka kemungkinan
akan menimbulkan beberapa masalah seperti mahalnya harga biji tanaman itu dan
kegiatan seleksi serta pemuliaan dapat terhambat karena biji yang tersedia
untuk evaluasi hanya sedikit.
Leguminosa
Leguminosa adalah tanaman dikotilledon (bijinya terdiri dari
dua kotiledon atau disebut juga berkeping dua). Famili tanaman leguminosa
terbagi atas tiga sub-famili yaitu Mimosaceae, Caesalpinaceae dan
Papilionaceae. Mimosaceae adalah tanaman perdu berkayu dengan bunga
biasa sedangkan Caesalpinaceae mempunyai bunga irregular. Adapun Papilionaceae
adalah tanaman semak berkayu dengan bunga papilionate atau berbentuk
seperti kupu. Antar jenis leguminosa terdapat perbedaan morfologi. Umumnya,
sistem perakaran leguminosa terdiri atas akar primer yang aktif dan mempunyai
cabang-cabang sebagai akar sekunder. Akar primer (tap root) tumbuh jauh
kedalam tanah. Sistem perakaran itu umumnya terinfeksi oleh bakteri dari
species Rhizobium sehingga terbentuk bintil-bintil atu nodul-nodul akar. Antara
bakteri dan tanaman leguminosa terjadi simbiose mutualistik. Untuk pertumbuhannya,
bakteri menggunakan Nitrogen yang diserap dari udara dan kemudian populasi
bakteri yang mati menjadi sumber Nitrogen untuk pertumbuhan tanaman leguminosa.
Bentuk dasar leguminosa yang ada saat itu seperti
pohon-pohon tropika. Kemudian, interaksinya dengan dengan mamalia primitif pada
era itu (seperti Dinosaurus) yang bersifat browser (meramban daun
pepohonan) serta injakan mamalia besar itu membuat pohon leguminosa mengalami
penurunan populasi dan evolusi. Struktur tanaman ini mengalami modifikasi
menjadi tanaman semak, tanaman pemanjat berkayu, tanaman musiman dan akhirnya
menjadi tanaman tahunan. Tanaman leguminosa ini tersebar diseluruh benua namun
tidak pernah menjadi tanaman yang dominan pada suatu kawasan seperti layaknya
rumput. Apabila rumput secara alamiah dapat menjadi tanaman dominan pada suatu
kawasan sehingga membentuk padang rumput (grassland) tetapi, tidak ada suatu
kawasan didunia yang dapat disebut sebagai padang leguminosa (legumelands)..
Umumnya jumlah leguminosa di padang rumput tidak lebih dari 10 persen dari
jenis-jenis tanaman di padang itu.
Seperti halnya rumput, melalui proses seleksi yang dilakukan
manusia terhadap biji-bijian sejak budaya hidup masih secara nomadik hingga
menetap maka sebagian jenis-jenis leguminosa berkembang menjadi bahan pangan.
Jenis-jenis leguminosa pangan yang kita kenal saat ini adalah seperti Glycine
max, Arachis hypogea, Vigna sinensis. Peran penting dari leguminosa tropika
sebagai hijauan pakan untuk pastura maupun pakan ternak ruminansia baru
mendapatkan perhatian sejak tiga dekade yang lalu. Sebelum kurun waktu itu,
ilmuwan lebih memperhatikan jenis-jenis leguminosa temperate seperti
species-species dari genus Medicago, Trifolium, Vicia dan Melilotus. Melalui
riset maka dari benua Afrika mulai dikenal manfaat jenis-jenis leguminosa
tropika seperti dari genus Glycine, Vigna, Indigofera, Dolichos dan
Alysicarpus.
Daun-daunan
Adapun yang dimaksud dengan daun-daunan dalam sub-bab ini
adalah daun-daunan dari tanaman yang tidak tergolong sebagai jenis tanaman yang
secara konvensional dikenal sebagai hijauan pakan ternak seperti
rumput-rumputan ataupun leguminosa. Mereka dapat tergolong sebagai tanaman
buah-buahan ataupun tanam pohon dikawasan hutan. Penggunaan daun-daunan ini
umumnya dapat diamati dikawasan pertanian intensif dinegara-negara tropis,
khususnya pada musim kemarau yang merupakan periode dimana jenis-jenis hijauan
pakan ternak konvensional sulit didapatkan. Adapun beberapa jenis daun-daunan
yang dimaksud misalnya berasal dari tanaman alpukat (Persea sp), nangka
(Artocarpus sp) serta pisang (Musa sp). Jenis-jenis pohon yang daunnya
dilaporkan digunakan sebagai pakan ruminansia di kawasan asia meliputi
Erythrina variegata, Ficus (F. exasperata, F. bengalnensis, F. religiosa),
Albizia lebbeck, Tamarindus indica, Cajanus cajan (Devendra, 1990).
Limbah tanaman pertanian
Limbah tanaman pertanian
Limbah tanaman pertanian yang dimaksud dalam sub-bab ini
adalah bagian-bagian dari tanaman yang dibudidayakan setelah produk utamanya
dipanen untuk kepentingan manusia. Khususnya pada kawasan tropis dimana
pemeliharaan ruminansia dilakukan oleh mereka yang mengoperasikan sistem
pertanian campuran maka petani-ternak pada kawasan itu juga memanfaatkan limbah
tanaman pertanian yang dibudidayakannya sebagai pakan untuk ternak ruminansia
mereka. Adapun jenis-jenis limbah tersebut beragam antar lokasi, tergantung
pada jenis tanaman pertanian yang dibudidayakan setempat. Pada kawasan
Asia-Pasifik, jenis-jenis limbah pertanian itu meliputi jerami padi, jerami
kacang tanah, jerami kacang kedelai, tebon jagung, jerami sorghum, daun ketela
pohon, daun ketela rambat, daun talas dan pucuk tebu. Jenis-jenis limbah
dimaksud selaras dengan jenis-jenis tanaman pertanian yang umum dibudidayakan.
Sejalan dengan penggunaan limbah pertanian seperti dimaksud
diatas, petani ternak juga mengembalikan kotoran ternak yang dihasilkannya ke
lahan pertanian sebagai pupuk. Kondisi itu menjadikan pola pertanian campuran
pada sebagian besar kawasan tropis bersifat terintegrasi antara tanaman dan
ternak dengan tujuan memaksimumkan sumberdaya pada tingkat rumahtanggatani
(Schiere dan Kater, 2001). Integrasi semacam itu akhir-akhir ini menjadi
semakin populer dikawasan empat musim sebagai bagian sistem pertanian yang
disebut New Conservation Agriculture.
Khususnya untuk jenis tanaman jagung, pada kawasan tropika,
menghasilkan tebon jagung setelah buah jagungnya dipanen untuk konsumsi
manusia. Oleh petani-ternak, tebon jagung dapat langsung diberikan kepada
ternak dalam keadaan segar atau terlebih dahulu dikeringkan matahari menjadi
hoi (hay) kemudian disimpan dan diberikan kepada ternak pada saat musim
paceklik pakan (umumnya terjadi pada musim kemarau). Pada berbagai negara
dikawasan empat musim, tanaman ini justru dibudidayakan sebagai hijauan pakan
ternak. Tanaman jagung dipanen sekaligus bersama buahnya untuk diberikan kepada
ternak ruminansia sebagai sumber zat makanan dan energi. Jenis tanaman ini juga
dibudidayakan untuk diawetkan dalam bentuk segar yang disebut silase untuk
digunakan sebagai pakan pada musim dingin (winter). Saat itu ternak
tidak dapat merumput di padang rumput yang bersalju dan harus dikandangkan dan
diberi pakan silase jagung.
PENUTUP
Kesimpulan
Sulawesi Tenggara merupakan
wilayah yang sangat potensial untuk pengembangan ternak terutama sapi, karena
didukung oleh sumberdaya alamnya yang sangat potensial bagi penyediaan
hijauan pakan. Sapi Bali merupakan jenis ternak sapi yang sangat dominan di
wilayah ini. Pada tahun 2007 (data tahun 2006) tercatat jumlah sapi di propinsi
Su;awesi Tenggara mencapai 222.350 ekor. Upaya peningkatan populasi
ternak sapi terus diupayakan oleh pemerintah daerah setempat terutama oleh
dinas yang terkait. Beberapa pakan unggul seperti Glyricidea (gamal), lamtoro,
rumput gajah, setaria, brachiaria sudah ada di hampir seluruh wilayah Sulawesi
Tenggara. Namun demikian, menurut petani pada saat-saat tertentu terutama di
musim kemarau ketersediaan pakan bagi sapi terasa kurang sehingga perlu
diupayakan kecukupan pakan selama periode tersebut.
Luas lahan padang penggembalaan di Sulawesi tenggara
menunjukkan kecenderungan semakin berkurang. Dengan demikian produktivitas
padang penggembalaan sebagai basis ekologi penyedia hijauan bagi ternak
ruminansia juga mengalami penurunan. Hasil estimasi produksi hijauan padang
penggembalaan sebesar 4,905,804 ton, dan dapat menyediakan hijauan untuk ternak
ruminansia sebesar 384,016 ST. Jika dibandingkan dengan populasi ternak
ruminansia di Sulawesi Selatan sebesar 576.701 ST, maka daya dukung tersebut
jauh lebih rendah dibandingkan jumlah populasi ternak ruminansia. Upaya yang
dapat dilakukan untuk memenuhi kekurangan hijauan dari padang penggembalaan
adalah perbaikan padang penggembalaan, pemanfaatan dan penanaman rumput unggul
dan leguminosa pohon, serta optimalisasi pemanfaatan biomas limbah pertanian
dan industri.
Peningkatan produksi
ternak khususnya ternak ruminansia akan berhasil dengan baik jika ketersediaan
pakan hijauan sebagai sumber pakan dapat dipenuhi secara kualitas dan kuantitas
dan tersedia secara kontinyu. Hijauan makanan ternak bersumber dari padang
rumput alam atau dengan melakukan penanaman hijauan makanan ternak. Jenis dan
kualitas hijauan dipengaruhi oleh kondisi ekologi dan iklim di suatu wilayah
DAFTAR PUSTAKA
Crowder, L.V. and Chheda, H.R. 1982.
Tropical Grassland Husbandry. Longman Inc . New York.
Flannery, K.V. 1969. Origin and
Ecological Effects of Early Domestication in Iran and The Near East. In P.J. Ucko and G.W.
Dimbleby (eds). The Domestication and Exploitation of Plants
and Animals. Gerald
Duckworth London, pp 12-100.
Ifar,S dan Bambang, A.N. 2002. Potensi dan
Prospek Usaha Peternakan Sapi Potong di Kawasan Timur Indonesia (KTI)
Dalam Kerangka Pengembangan Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) . Semiloka Strategi Pengembangan KAPET di Kawasan Timur Indonesia dalam Menghadapi Era Global, 5- 6 Juli, Universitas Brawijaya.
Keay, R.W.J. 1959. Vegetation Map of
Africa South of The Tropic of Cancer. Oxford
Univ. Press. London.
Mannetje, L.’t. 1978. The Role of
Improved Pastures for Beef Production in The Tropics. Trop. Grassland 12, 1-9
Pratt, D.J., Greenway, P.J. and
Gwynne, M.D, 1966. A Classification of East African Rangeland, With An Appendix on Terminology. J.
Appl. Ecol. 3,
369-382
Rifkin, J. 1993. Beyond Beef. The
Rise and Fall of The Cattle Culture. Penguin Books
USA Inc. New York.
Reed, C.A. 1969. The Pattern of
Animal Domestication in the Prehistoric Near East. In P.J. Ucko and G.W. Dimbleby (eds). The Domestication
and Exploitation of
Plants and Animals. Gerald Duckworth: London, pp : 261-380
Ruthenberg, H. 1980. Farming Systems
in The Tropics. Clarendon Press. Oxford.
Schiere, H dan Kater, L. 2001. Mixed
Farming Systems. Mixed Crop-Livestock Farming, A Review of Traditional
Technologies. An FAO Report Based
on Literature and Field Experiences.
FAO Rome.
Stewart, O.C. 1956. Fire as The
First Great Force Employed by Man. In H.L. (ed). Man’s Role in Changing the Face of the
Earth. Univ. Chicago Press . Pp: 115 -133.
TUGAS
MANAJEMEN
PASTURA
(PROSPEK PENGEMBANGAN HIJAUAN PAKAN
TERNAK)
OLEH :
NAMA :BASRUDIN
STAMBUK :D1B4 10 086
KELAS :B
JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS
PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur kita
panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan
hidayahnya sehingga makalah
ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah yang berjudul “Prospek pengrmbangan hijauan pakan ternak”
ini disusun agar dapat bermanfaat sebagai media sumber informasi dan
pengetahuan mengenai berbagai manajemen
pastura. Penulis berharap agar materi yang
dipaparkan mudah untuk dipahami oleh semua kalangan. Ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang telah terlibat dan memberikan bantuan sehingga makalah ini
dapat selesai.
Penulis menyadari
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang
bersifat konstruktif sangat dibutuhkan.
Kendari, 28
oktober 2012
Penulis
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut